Minggu, 30 Desember 2007

penelitian

BAB I

PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang Masalah

Kebijakan publik dalam lintasan sejarah di Indonesia mulai zaman Orde Lama, Orde Baru, dan pascareformasi menjadi alat kontrol terhadap masyarakat melalui beberapa aturan baik perda, UU, ataupun aturan-aturan yang diterapkan oleh pemerintah.

Kenyataan yang terjadi kebijakan pada awalnya harus membela kepentingan rakyat melalui prasarana kebijakan yang lebih partisipatif. Akan tetapi, kebijakan selama ini yang dijalankan para apartus state ataupun para elite negara telah menodai dari amanah kebijakan publik. Padahal, makna kebijakan publik ini harus bersifat demokratis, yang rasionalis, idealis, dan realistis.

Titik singgung proses pertukaran kepentingan inilah yang harus melandasi formula sebuah kebijakan publik. Dari konsep demokrasi itulah yang seharusnya kebijakan publik lebih berproses, jadi tidak hanya sekumpulan elite atau politikus negara, tetapi kumpulan dari orang-orang yang bersinggungan dengan masalah kebijakan, sehingga perlu dilibatkan dalam membahas kebijakan dan tidak di monopoli oleh kelompok negara saja dan alangkah lebih baiknya masyarakat sipil harus ikut dalam membicarakan tentang kebijakan-kebijakan publik. Yang nantinya nilai-nilai demokrasi akan bisa terwujud dengan proses kedaulatan rakyat dengan sistem mufakat.

Dalam konteks inilah kebijakan publik dan pengambilan kebijakan para birokrat negara harus memiliki orientasi pada kepentingan publik yang kuat. Kebanyakan warga negara menaruh banyak harapan pada administrator publiknya agar mereka selalu melayani pelayanan yang sebaik-baiknya kepada publik, sehingga fungsi policy maker secara legal formal memang tetap perangkat negara.

Seyogianya dengan partisipatif publik, yang ingin dicapai adalah transparansi dalam proses kebijakan publik. Kita bisa mengamati beberapa kebijakan yang selama ini menjadi bagian anggaran penetapan di muka publik, di antaranya kebijakan kesejahteraan rakyat, perumahan rakyat, pendidikan, ekonomi, kebudayaan, dan politik.

Seiring dengan munculnya fenomena kebijakan publik di negara Indonesia dan banyaknya masalah yang silih berganti yang harus dihadapi masyarakat, kini kebijakan tidak hanya pemerintah yang menetapkan, tetapi juga di tetapkan oleh DPR. Secara garis besar mekanisme tersebut rupanya mampu menerobos kebijakan yang dilakukan pemerintah dan melampauinya kebijakannya yang dianggap taktis dan strategis. Sejauh ini kebijakan pemerintah dan kebijakan DPR ini tidak ada yang sinergitas. Akan tetapi, dari keputusan kedua kebijakan pascareformasi ini tidak ada kebijakan yang benar-benar berpihak pada rakyat. Rakyat selalu dibebani dengan kebijakan yang tidak rasional demi untuk kepentingan kelompoknya, agar bisa untuk memenuhi tuntutan faktor politik maupun ekonomi.

Kita lihat beberapa contoh kebijakan pendidikan, ketenagakerjaan, dan BBM. Semua itu tidak ada yang berpihak pada rakyat, pemerintah dan DPR lebih mementingkan kebijakan kelompok elite, bagaimana perda, pasal atau UU bisa dikorup, sebagai bentuk untuk menindas rakyat.

Kita lihat saja kasus-kasus yang melibatkan aparatur negara yang telah banyak melakukan penyelewengan dengan melakukan pembangunan opini melalui demonstrasi, agar opini tersebut dikembangkan oleh masyarakat, sehingga isu yang digulirkan akan bisa memengaruhi kebijakan, dari polemik-polemik selama ini tentang pengebirian kebijakan publik yang lebih dimanfaatkan oleh para kaum pemodal untuk mengikuti aturan-aturannya dengan model operandi penipuan terhadap rakyat.

Perlunya adanya pembacaan ulang tentang kebijakan publik yang lebih dinamik. Apakah anggota DPR benar-benar sebagai wakil rakyat dan aspirasi publik dalam memperjuangkan kebijakan publik? Pertanyaan tersebut harus benar-benar dipikirkan pemerintah dan anggota DPR yang sering membuat pasal-pasal karet, sehingga kita perlu membaca ulang kebijakan publik yang selama ini yaitu:

Pertama, kebijakan publik di bidang ketenagakerjaan, yang selalu ramai jadi pembicaraan dan sekaligus perdebatan di berbagai negara. Tak peduli kaya atau miskin. Biasanya kebijakan ini lebih mendapat tekanan dari pengusaha, agar kebijakan dan pasal-pasalnya agar lebih banyak berpihak pada pengusaha, sehingga penindasan terhadap buruh bisa leluasa, karena dapat diperkuat dengan kebijakan yang memasung para buruh dengan menekan upah serta mengeksploitasi tenaganya dengan upah yang serendah-rendahnya.

Kedua, kebijakan publik di sektor BBM, kenaikan BBM dalam lintas sejarah kebijakan publik di Indonesia selalu menarik perhatian, terutama saat media massa banyak menopang bergulirnya isu kenaikan BBM. Sesungguhnya bukan materi harga naiknya BBM, melainkan selama ini kebijakan yang ditetapkan pemerintah tidak rasional. Walaupun di era pemerintahan SBY dengan tawaran subsidi silang di sektor pendidikan, kesehatan, dan ekonomi ternyata hingga saat ini masih impian belaka bagi kaum miskin.

Ketiga, kebijakan publik dalam penjualan aset negara, seiring dengan datangnya krisis ekonomi mulai tahun 1997 sampai 2005, berlarut-larutnya kondisi ekonomi bangsa Indonesia mulai zaman Presiden Soeharto hingga Presiden Megawati banyak aset negara yang dijual, seperti PT Indosat, PT Aneka Tambang, dan PT Timah. Semua aset negara yang dijual ini ternyata tidak bisa memberikan kesejahteraan rakyat. Padahal, semua itu ulah para koruptor yang merongrong aset negara, sebagai dampak bagi negara menuju kemiskinan.

Kebijakan seperti inilah yang sering dianggap remeh oleh negara, mereka hanya mengalkulasi kebutuhan sesaat dan tidak memikirkan anak cucu para Republik Indonesia yang akan datang. Oleh karena itu, kebijakan menjual aset negara sebagai ulah para koruptor ini telah mendapat keistimewaan, bahkan pemerintah tidak pernah tegas.

Keempat, kebijakan publik tata ruang kota dan hancurnya lingkungan hidup. Tata ruang kota yang berkelanjutan adalah sasaran penataan ruang, yang harus ditujukan lebih pada kesejahteraan lingkungan di masyarakat. Padahal, sejak beberapa tahun yang silam penataan kota itu lebih meniadakan sifat humanisme, mereka lebih mementingkan lebih pada nilai-nilai proyek komersialisasi bukan pada humanisasi lingkungan, akhirnya yang terjadi kerusakan penataan kota yang asri tanpa pernah memelihara penghijauan, sehingga banjir terus-menerus yang terjadi.

Di sebabkan bisnis lebih utama terutama masalah drainase juga tidak pernah diperhatikan, serta pencemaran pabrik dan gangguan gedung-gedung di kota yang kadang tidak memenuhi standar pemeliharaan penataan kota.

Kelima, kebijakan masalah PAD, setelah pascareformasi bergulirnya otoda menjadi sebuah harapan bagi bangsa Indonesia, yang selama ini pemerintahan yang ada di Jakarta lebih banyak menyita hasil pemerintahan di daerah-daerah. Setelah di terapkan otoda yang lebih dari lima tahun, ternyata hanya sebuah impian belaka bagi rakyat Indonesia, yang selama ini eksplorasi pusat terhadap daerah terus terjadi.

Hal ini menunjukkan keberadaan otoda bukan menghasilkan kemakmuran, melainkan menjadi momok hanya pada persoalan keuangan daerah menjadi rebutan. Walhasil, banyak mencetak para koruptor di daerah-daerah mulai menjadi tren gaya hidup bagi aparat negara di daerah-daerah. Seolah-olah kalau pejabat di daerah belum melakukan korupsi belum menjadi keabsahan sebagai pejabat teras negara. Tampaknya kebijakan PAD telah banyak menindas rakyat di mana pun.


Telaah dalam Sudut Pandang Ilmu Kebijakan Publik terhadap Korupsi

Dalam proses perkembangan belakangan ini, para ilmuwan politik semakin menaruh minat yang besar terhadap studi kebijakan publik. Fenomena ini dapat kita lihat dari semakin banyaknya studi mengenai kebijakan publik dalam bentuk penelitian dan dan literatur yang membahas kebijakan publik secara khusus.1 tentu saja banyak alasan yang dapat dikemukakan untuk menjelaskan mengapa minat terhadap studi kebijakan publik, seperti alasan-alasan yang menyangkut alasan ilmiah, alasan profesional, dan yang terakhir adalah alasan politis.

Pada sisi lain perubahan-perubahan yang terjadi saat ini, yang dipicu oleh revolusi teknologi dan globalisasi dunia telah membawa dampak tersendiri bagi semakin menariknya studi kebijakan publik. Pertama, revolusi teknologi komunikasi dan globalisasi telah mendorong terjadinya proses demokratisasi di sebagian besar negara-negara berkembang yang sebelumnya merupakan negara-negara otoriter. Kondisi ini mendorong keterlibatan aktor-aktor baru dalam perumusan kebijakan publik. Perumusan kebijakan publik tidak lagi didominasi oleh segelintir elit politik yang tidak dapat dikritik, namun kini telah melibatkan sebagian banyak warga negara dan kelompok-kelompok kepentingan. Dengan demikian, pemerintah diharapkan pada tuntutan-tuntutan yang semakin beragam. Kedua, paralel dengan kondisi tersebut adalah globalisasi informasi telah melahirkan tipe masyarakat yang semakin kritis. Akibatnya warga negara sekarang ini semakin peduli terhadap kebijakan- kebijakan publik yang berpengaruh langsung terhadap kehidupan pribadinya, sehingga pemerintah harus semakin responsif dan akomodatif.

Studi kebijakan publik dalam konteks Indonesia menjadi semakin penting dan menarik jika dikaitkan dengan wacana otonomi daerah yang kini tengah dijalankan. Pelaksanaan otonomi daerah tersebut diharapkan akan memberi kesejahteraan kepada sebagian besar rakyat, namun dibalik harapan tersebut juga diliputi kekhawatiran. Otonomi daerah dicemaskan hanya akan melahirkan “raja-raja kecil” di daerah, yang tidak memperdulikan kesejahteraan rakyat. Dengan demikian, maka studi kebijakan publik dengan alasan profesional semakin dibutuhkan.

Dalam posisi yang bersebelahan dengan kebijakan publik yang semakin penting, perihal kebijakan publik akan menjadi sebuah upaya tanggung tanggung jawab dari pemerintah untuk melayani masyarakat sebagai individu yang menjadi ladang penerapan kebijakan publik. Kebijakan publik menjadi sebuah tindakan pemegang kebijakan untuk melakukan sesuatu atau untuk tidak melakukan sesuatu terhadap masyarakat nya. Kemudian diambil suatu upaya untuk mencapai kebijakan publik yang tepat sasaran sesuai dengan prinsip good governance.2

Maka dibentuklah suatu agenda kebijakan yang dimaksudkan sebagai wadah untuk menampung masalah-masalah yang akan diselesaikan oleh pemerintah. Agenda kebijakan berbentuk daftar masalah tersebut kemudian di identifikasi oleh lembaga pengambil keputusan untuk dijadikan pembahasan guna menentukan kebijakan publik yang akan diambil.3

Tetapi kenyataan yang diperoleh masyarakat tidak sepenuhnya tercapai, kelembagaan pemerintah malah mendapat permasalahan yang lebih rumit dalam penerapannya. Hal ini disebabkan antara lain keterbatasan waktu dan begitu banyaknya masalah yang harus ditangani oleh sebuah lembaga pengambil keputusan, agenda kebijakan mungkin hanya mampu membahas beberapa masalah dan kebutuhan sesuai dengan standar yang diterapkan oleh organisasi pengambil keputusan. Dalam hal inilah muncul arti penting memahami masalah berdasarkan urgensinya. Karena bisa saja agenda kebijakan publik tidak mendasarkan pada aspek prioritas tetapi mungkin karena motif-motif tertentu seperti motif ekonomi dan motif politik.

Dengan demikian sebelum masalah menjadi sebuah agenda kebijakan, pada dasarnya telah terjadi pertarungan ditingkat sebelumnya, yaitu bagaimana seseorang atau lembaga pengambil keputusan menentukan prioritas masalah menjadi sebuah agenda kebijakan. Disinilah sesungguhnya dibutuhkan suatu keahlian dan keterampilan pengambil kebijakan untuk memahami, mengerti dan akhirnya memutusakan apa yang hendak dimasukkan dalam agenda kebijakan. Defenisi yang menyatakan maksud agenda kebijakan adalah:

List of subject or problems to which government officials and people outside of government closely with these official, are paying some serious attention any given 4

Dari defenisi ini ada beberapa masalah yang harus digaris bawahi ;

Pertama, adalah daftar urusan atau masalah. Contohnya adalah pelayanan umum apa yang harus diperbuat oleh pembuat kebijakan. Dalam hal ini badan-badan pemerintah yang berhadapan langsung dengan tanggung jawab untuk melayani kepentingan umum, bukan semata-mata kepentingan kalangan pelaku usaha.

Kedua, agenda kebijakan seharusnya melibatkan orang-orang di dalam maupun di luar pemerintahan. Artinya dibutuhkan suatu partnership dari berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholders) untuk menentukan dan mempengaruhi proses kebijakan, agar sebuah masalah dapat dimasukkan dalam daftar kebijakan.

Ketiga, ada sebuah pandangan terhadap urgensi kebutuhan masyarakat demi tercapainya pelayanan umum, maka diusulkan letak penting prioritas permasalahan.

Dalam mewujudkan pelayanan publik melalui kebijakan publik yang digagas oleh pemerintah dibutuhkan suatu kerjasama dengan masyarakat demi terwujudnya kebijakan publik yang tepat guna. Namun dalam kenyataannya pemerintah, dalam hal ini khususnya pemerintah daerah seperti mengenyampingkan kebutuhan-kebutuhan masyarakat sehingga banyak bermunculan kebijakan publik yang berorientasi kepada motif ekonomi dan motif politik yang sebelumnya telah dipaparkan. Kenapa hal ini terjadi? Karena tidak adanya akuntabilitas birokrasi terhadap kenyataan publik maka terjadi penyimpangan-penyimpangan agenda kebijakan publik yang tidak berorientasi kepada pelayanan masyarakat.

Penyimpang-penyimpangan ini akhirnya membentuk suatu simpul korupsi birokrasi. Karena korupsi adalah penyebab utama mengapa tingkat kesejahteraan masyarakat di Indonesia tidak bisa ditingkatkan melalui kebijakan pemerintah. Fenomena korupsi juga menjelaskan mengapa krisis multi-dimensional di Indonesia yang terjadi sejak tahun 1998 terjadi berkepanjangan dan tak kunjung bisa ditanggulangi. Tidak berlebihan jika seorang pakar mengatakan bahwa korupsi adalah akar dari semua masalah (the root of evils) di Indonesia. Dari perspektif administrasi publik, penyebab korupsi adalah rendahnya akuntabilitas birokrasi publik.

Syeid Hussain Alatas memaparkan 7 tipologi korupsi,5 yang dalam derajad tertentu dapat mengidentifikasi fenomena korupsi dalam kebijakan publik. Ketujuh tipologi korupsi itu adalah:

Transaktif ( korupsi yang menunjukan adanya kesepakatan timbal balik antara pihak yang memberi dan menerima keuntungan bersama, dan kedua pihak sama-sama aktif menjalankan perbuatan tersebut )

Eksortif ( korupsi yang menyatakan bentuk-bentuk koersi tertentu, dimana pihak-pihak pemberi dipaksa menyuap guna mencegah kerugian yang mengancam diri, kepentingan, orang-orang, atau hal-hal yang dihargainya )

Investif ( korupsi yang melibatkan suatu penawaran barang atau jasa, tanpa adanya pertalian langsung dengan keuntungan tertentu bagi pemberi, selain keuntungan yang diharapkan akan diperoleh di masa mendatang )

Nepotistik (korupsi berupa pemberian perlakuan khusus kepada pertemanan atau yang mempunyai kedekatan hubungan dalam rangka menduduki jabatan publik )

Autogenik ( korupsi yang dilakukan individu karena mempunyai kesempatan untuk mendapatkan keuntungan dari pengetahuan dan pemahamannya atas sesuatu yang hanya diketahui seorang diri )

Suportif ( korupsi yang mengacu pada penciptaan suasana yang kondusif untuk melindungi atau mempertahankan keberadaan tindak korupsi )

Defensif ( korupsi yang terpaksa dilakukan dalam rangka memepertahankan diri dari pemerasan )

Mencegah korupsi dan kolusi tidaklah begitu sulit, kalau kita semua sadar untuk menempatkan kepentingan umum (kepentingan rakyat banyak) diatas kepentingan pribadi dan golongan. Sebab betapapun sempurnanya peraturan, kalau niat korup tetap ada dihati yang memiliki peluang untuk melakukan perbuatan tidak terpuji tersebut, korupsi akan terus terjadi.6

Faktor mental yang menentukan. Selain itu, hendaklah dipahami juga tanggung jawab atas perbuatan terkutuk ini (apabila dilakukan dengan cara kolusi) tidak hanya terletak pada mental pejabat saja, tetapi juga terletak pada mental pengusaha tertentu yang berkolusi yang selalu ingin menggoda oknum pejabat untuk mendapatkan fasilitas dan keuntungan sebesar-besarnya.

Walaupun pejabat ingin melakukan korupsi, kalu tidak disambut oleh oknum pengusaha berupa pemberian suap atau janji memberi imbalan, korupsi tidak akan separah ini. Suap sungguh sangat berbahaya, karena si penerima suap tidak akan tanggung-tanggung dalam menyalahgunakan kewenangannya, sehingga kekayaan dan aset negara dipreteli dalam jumlah milyaran atau trilyunan rupiah.

Faktor sistem juga berpengaruh. Misalnya, ancaman dan penjatuhan hukuman yang relatif rendah mendorong juga orang untuk melakukan korupsi. Oleh karena itu, Undang-undang yang kini berlaku, perlu juga ditinjau. Ancaman hukuman yang lebih berat (pantas) pasti akan mendorong orang untuk berpikir berkali-kali sebelum melakukan niatnya untuk melakukan korupsi dan kolusi.

Kalau kita menerapkan ancaman hukuman mati dan denda ratusan juta rupiah, jauh akan lebih efektif daripada ancaman seumur hidup dan denda hanya puluhan juta rupiah. Apalagi penerapan Undang-undang sekarang ini masih sangat tidak sesuai dan kurang mendidik.

Coba kita analisa pengaruh daya prevensi apa yang dapat diperoleh suatu hukuman, seperti seorang yang korupsi milyaran rupiah, namun hukumannya hanya lima atau enam tahun saja dan dendanya hanya puluhan juta rupiah. Selain peninjauan kembali tentang ancaman hukuman, juga perlu dipikirkan kiranya kita terapkan pembuktian terbalik (reversal of the burden proof),7 seperti yang berlaku di negara tertentu, khususnya di Malaysia, Singapura dan Hongkong.

Di negara-negara tersebut korupsinya jauh lebih rendah kalau kita tidak mau mengatakan tidak berarti sama sekali dibandingkan dengan Indonesia. Umumnya di negara-negara itu orang takut melakukan korupsi. Karena, susah sekali menghindarkan diri dari penyidikan, kalau benar-benar melakukan korupsi seperti menerima suap atau memberi suap, perbuatan itu sendiri dipandang gratification corruptly, kecuali kebalikannya dapat dibuktikan (unless the contrary is proved).8

Dengan kata lain, apabila tersangka/terdakwa tidak dapat membuktikan ia tidak bersalah, sedangkan pembuktian dibebankan kepadanya, ia salah menerima gratification corruptly. Tidak diperlukan jaksa membuktikan kesalahan terdakwa, karena menganut pembuktian terbalik.

Ketentuan pembuktian terbalik ini dapat dibaca antara lain di Malaysia di dalam Prevention of Corruption Act 1961 (Act 57) pasal 14. Di Singapura di dalam Prevention of Corruption Act Chapter 241, pasal 8, dan di Hongkong dalam Prevention of Bribery Ordinance (Chapter 201), Ordinance 1970, Added 1974, pasal 10 ayat (1). Jadi kitalah yang membuktikan, bahwa kita tidak korup (membuktikan ketidaksalahan kita).9

Untuk berbuat demikian sangatlah sulit, karena tidak mudah membuat alasan yang tidak berdasar. Si pelaku tidak akan mudah menghindarkan diri untuk lolos dari tuduhan, apabila ia betul-betul melakukan korupsi. Misalnya, seseorang yang memberi alasan yang dibuat-buat dengan mengatakan kekayaan berasal dari keuntungan menjual rumah, maka yang bersangkutan harus membuktikan lebih lanjut tentang hal tersebut.

Berlainan yang berlaku di Indonesia, dimana sewaktu-waktu tersangka mudah menghindarkan diri dari tuduhan melakukan korupsi. Dengan kelihaian si pelaku, termasuk cerdik dalam memalsukan dokumen dan menyembunyikan kekayaan hasil korupsinya, sehingga biasanya penyidik atau jaksa tidak mampu membuktikan tentang perbuatannya itu. Karena tidak mudah membuktikan, tidak mudah pula melakukan tindakan terhadap koruptor tersebut.

Banyak kasus korupsi di Indonesia yang sulit untuk disidik dan dituntut, sehingga banyak pula yang lolos. Jelas sistem pembuktian terbalik lebih mudah pembuktiannya dan lebih efektif daya prevensinya dari pembuktian yang kita anut sekarang.

Selain mengkritisi proses pencegahan korupsi di dalam peradilan kita juga perlu mengkaji fungsi-fungsi birokrasi yang berjalan didalam menghasilkan kebijakan publik. Manakala fungsi-fungsi birokrasi , termasuk didalamnya pelayanan publik tidak berjalan semestinya, maka pemberdayaan ditingkat masyarakat pengguna layanan menjadi alasan terpenting. Mekanisme kontrol terhadap akuntabilitas politik mestinya yang mestinya dijalankan melalui DPR dan DPRD, seringkali menuai kekecewaan. DPR dan DPRD cenderung menjadi stempel kebijakan publik yang diambil pemerintah. Dalam hal akuntabilitas manajerial pun pun tampak bahwa Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) tidak efektif. Disisi lain, lembaga-lembaga kontrol pemerintah seperti BPKP dan inspektorat-inspektorat terkesan tidak transparan. Maka akuntabilitas birokrasi publik sebagai tema sentral dengan argumentasi bahwa mengetahui dan mencegah penyebab korupsi atau penyalahgunaan wewenang jauh lebih penting daripada melakukan tindakan kuratif terhadap pelaku korupsi.

Akhirnya, kalau pemimpin dan pejabat kita mampu menjadi teladan untuk bersih dari perbuatan korupsi, hal ini sangat membantu. Kalau golongan atas sudah bersih, diharapkan pejabat menengah kebawah pun akan berbuat hal yang sama. Dalam hubungan keteladanan ini perlu kiranya kita ingat kembali salah satu hadist Rasulullah yang intinya memperoleh terus amal bagi seseorang yang mampu memberi teladan positif kepada sesamanya, dan sebaliknya akan terus diganjar dosa diikuti dengan siksaan yang pedih bagi seseorang yang memberi contoh perbuatan tidak terpuji bagi sesamanya.

Tidak diragukan, peringatan Rasulullah ini termasuk ditujukan kepada para pejabat/pemimpin yang menyalahgunakan kekuasaannya dan melakukan kolusi dan korupsi, sehingga diikuti oleh bawahannya.


Posisi Perkara Kasus Dugaan Korupsi Dana Pengadaan Buku Ajar .

Dalam sidang perdana kasus penyimpangan APBD 2004 Kab Semarang terkait pengadaan buku ajar SD/MI kelas I dan IV dengan terdakwa Bambang Guritno di Pengadilan Negeri (PN) Kab Semarang, kemarin. Bambang Guritno dianggap Jaksa Penuntut Umum (JPU) telah melakukan serangkaian perbuatan yang melawan hukum dengan mengeluarkan berbagai kebijakan pada 2004 dan menyebabkan kerugian negara Rp3,365 miliar.

Jaksa gabungan dari Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jateng dan Kejaksaan Negeri (Kejari) Ambarawa menilai, perbuatan Bambang telah melanggar beberapa pasal dari aturan pemerintah yang mengatur korupsi dan gratifikasi. Karena itu, dia didakwa dengan dakwaan pertama (korupsi) primer dan subsider serta dakwaan kedua (gratifikasi) primer dan subsider. JPU MA Pattikawa memaparkan, untuk dakwaan primer korupsi, Bambang dinyatakan melakukan perbuatan atau turut melakukan perbuatan secara melawan hukum dengan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara.

”Perbuatannya melanggar hukum sebagaimana diatur dengan pidana dalam pasal 2 ayat 1 jo pasal 18 UU No 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20/2001 pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP. Perbuatan melawan hukum yang dilakukan Bambang adalah memerintahkan Kepala Dinas Pendidikan Kab Semarang Sri Kuswanto menunjuk PT Masscom Graphy dan CV Ganesha Exact mengerjakan proyek pengadaan buku ajar Kab Semarang.

Karena PT Masscom Graphy bukan penerbit buku pelajaran, maka perusahaan tersebut menggunakan bendera PT Intan Pariwara yang selanjutnya bersama CV Ganesha Exact membentuk konsorsium bersama CV Aneka Ilmu. Sementara terkait dakwaan subsider korupsi, Bambang melakukan atau turut serta melakukan perbuatan dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu koorporasi dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya yang dapat merugikan keuangan negara.

Perbuatannya melanggar pasal 3 jo pasal 18 UU No 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20/2001 jo pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP. Sedangkan dakwaan primer gratifikasi, jelasnya, Bambang telah melakukan perbuatan atau turut serta melakukan perbuatan menerima gratifikasi yang berhubungan dengan jabatannya. Dia melanggar pasal 12 B UU No 20/2001 jo pasal 18 UU No 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20/2001 jo pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP ”Sebelum proyek pengadaan buku SD/MI itu dimulai, terdakwa telah meminta dan menerima uang dari penerbit.

Yakni dengan mengatakan untuk mengikuti proyek di Kab Semarang harus mengikuti aturan main yang berlaku. Menyisihkan 20% dari total nilai proyek, 10% untuk legislatif, dan 5%–10% untuk eksekutif dan jajarannya,”tutur Pattikawa. Disebutkan, dalam proyek ini Bambang Guritno juga menerima fee dari rekanan Rp650 juta yang diterima melalui ajudan bupati bernama Vega. Sementara dakwaan subsider gratifikasi, terdakwa selaku penyelenggara negara menerima hadiah atau janji.

Padahal, patut diduga hal itu diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya. ”Perbuatannya merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam dengan pidana dalam pasal 11 UU No 20/2001 jo pasal 18 UU No 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20/2001 jo pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP. Menanggapi dakwaan tersebut, tim penasihat hukum Bambang Guritno yang diketuai Anshori Harsa langsung mengajukan eksepsi atau nota keberatan. Menurut dia,dakwaan JPU kabur dan tidak jelas.

Untuk itu, dia meminta majelis hakim yang diketuai Imam Sungudi menolak dakwaan tersebut serta terdakwa dibebaskan dari tahanan setelah putusan ini. Tim penasihat hukum juga mengajukan pengalihan penahanan terdakwa kepada majelis hakim dengan alasan Bambang Guritno masih dibutuhkan masyarakat terkait statusnya sebagai kepala daerah.”Keluarga siap menjadi jaminan pengalihan tahanan klien kami. Sebab, saat ini beliau (Bambang Guritno) masih dibutuhkan keluarga dan masyarakat Kab Semarang.

Persidangan yang dimulai pukul 10.00 WIB dan berakhir 13.45 WIB itu berlangsung lancar dengan penjagaan ketat petugas dari Polres Semarang dan Dishub Kab Semarang. Sidang kedua dijadwalkan digelar Kamis (28/6) pekan depan dengan agenda pembacaan tanggapan eksepsi penasihat hukum oleh JPU.


Tetap Menjabat Bupati

Pemprov Jateng menyatakan Bambang Guritno masih resmi berstatus sebagai bupati Semarang. Pasalnya, sampai saat ini surat penonaktifan dari Mendagri belum turun. ”Sampai siang ini surat penonaktifan belum turun. Sehingga secara resmi beliau masih bupati Semarang,” kata Kepala Badan Informasi Komunikasi dan Kehumasan (BIKK) Provinsi Jawa Tengah Saman Kadarisman. Saman mengungkapkan, surat usulan penonaktifan Bambang Guritno sudah dikirimkan ke Mendagri sejak beberapa pekan lalu, ketika Pemprov mengambil surat penonaktifan Bupati Kendal Hendy Boedoro.

Namun, sampai saat ini belum ada balasan.”Kami masih terus memantau kapan surat dari Mendagri turun. Kami juga menanyakan ke Depdagri masalah ini supaya bisa mendapatkan perhatian,” katanya. Karena masih berstatus sebagai bupati Semarang, kata Saman, Bambang Guritno masih memiliki kewenangan sebagaimana seorang kepala daerah.Termasuk masih berhak mendapatkan fasilitas jabatan seperti kendaraan dinas, rumah dinas, dan pengawalan.


Dilihat dari posisi kasus dugaan korupsi dana pengadaan buku ajar oleh Bupati Semarang Bambang Guritno maka korupsi yang dilakukan masuk ke dalam lingkup pengadaan barang dan jasa. Dari uraian diatas telah terjadi korupsi paksaan yang coba diperhalus oleh Bambang sebagai syarat mengikuti tender di Kabupaten Semarang. Secara teknis, penyimpangan lain mungkin akan terjadi. Seperti bentuk penyuapan dalam proses pengadaan barang dan jasa yang akhirnya “terpaksa” dilakukan untuk memenagi tender dalam pengadaan buku ajar tersebut. Korupsi dalam bentuk suap tersebut muncul demi mendapatkan beberapa tujuan. Pertama, perusahaan atau pengusaha rela membayar untuk bisa diikutsertakan dalam daftar prakualifikasi dan untuk membatasi peserta tender. Kedua, perusahaan juga rela membayar untuk mendapatkan informasi mengenai proyek dari orang dalam. Ketiga, pembayaran ilegal membuat pejabat dapat mengatur spesifikasi tender sehingga perusahaan yang membayar itu akan menjadi satu-satunya pemasok yang lolos prakualifikasi. Keempat, pembayaran ilegal itu dimaksudkan untuk memenangi kontrak. Ketika proses ini terjadi dalam satu kali putaran, konsekuensi yang harus diterima adalah adanya penggelembungan harga dan penurunan kualitas barang dan jasa yang dihasilkan (Susan Rose-Ackerman, 2006). Korupsi dalam bentuk suap inilah yang belum di investigasi oleh para penyidik, jika terbukti ada penyuapan dalam pengadaan buku ajar, maka bertambah pula dakwaan yang dikenakan kepada Bambang Guritno.


Penyederhanaan permasalahan yang dituangkan dalam judul penelitian

Dari uraian diatas, dapat dipahami bahwa dalam birokrasi publik diperlukan suatu pemahaman terhadap kebutuhan publik dan pelayanan publik. Hal ini dimaksud agar mencegah praktik-praktik penyelewengan kekuasaan dan penyalahgunaan jabatan. Karena kebijakan yang diharapkan bermanfaat bagi masyarakat menjadi tidak terwujud dengan penyebab penyimpangan-penyimpangan yang sering terjadi dalam menetapkan kebijakan publik. Penyimpangan yang paling fatal terjadi adalah timbulnya tindak pidana korupsi yang sudah dirancang sebelumnya oleh para pembuat kebijakan. Maka dengan penelitian ini diharapkan kita dapat mengkaji berbagai aspek kebijakan publik yang kemudian dapat dipahami sebagai penyelesaian masalah korupsi yang bermula pada tidak pahamnya pembuat kebijakan dalam mengimplementasikan kebijakan publik itu dalam pelayanan masyarakat sesungguhnya. Maka diangkatlah judul penelitian yang mengkhususkan pada permasalahan :

ASPEK-ASPEK KEBIJAKAN PUBLIK YANG MEMICU TERJADINYA TINDAK PIDANA KORUPSI (STUDI KASUS: DUGAAN KORUPSI DANA PENGADAAN BUKU AJAR OLEH BUPATI SEMARANG NON-AKTIF BAMBANG GURITNO)


  1. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan , maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

  1. Apakah Bupati Semarang dalam menetapkan kebijakan pengadaan buku ajar sudah mematuhi prosedur dan peraturan yang berlaku?

  2. Penyimpangan apa saja yang terjadi dalam hal pengadaan buku ajar di Kabupaten Semarang yang dilakukan oleh Bupati Non-aktif Bambang Guritno sehingga didakwa telah melakukan tindak pidana korupsi?

  3. Pendekatan hukum apakah yang digunakan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam menuntut Bambang Guritno selaku Bupati Non-aktif terkait kebijakan pengadaan buku ajar?


C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai penulis dalam penelitan ini adalah:

  1. Tujuan Objektif

    1. Untuk mengetahui prosedur terciptanya suatu kebijakan publik terkait kebijakan pengadaan buku ajar yang dilakukan oleh Bambang Guritno pada saat menjabat sebagai Bupati Semarang.

    2. Untuk mengetahui penyimpangan apa saja yang terjadi dalam hal pengadaan buku ajar di Kabupaten Semarang yang dilakukan oleh Bupati Non-aktif Bambang Guritno.

    3. Untuk mengetahui pilihan teori dan pendekatan memahami hukum yang digunakan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam menuntut Bambang Guritno terkait kebijakan pengadaan buku ajar.


  1. Tujuan Subjektif

Untuk memperdalam kajian ilmu penulis dalam memahami ilmu kebijakan publik dalam berbagai sudut pandang kelimuan.


D. Manfaat Penelitian

  1. Manfaat praktis penelitian ini untuk memberikan sumbangsih pemikiran dalam perkembangan ilmu kebijakan publik di masa yang akan datang.

  2. Manfaat akademis di dalam penelitian ini adalah sebagai evaluasi dan masukan bagi para pengambil kebijakan publik dalam mengimplementasikan kebijakan agar tepat sasaran dan bermanfaat. Serta diharapkan penyelesaian persoalan dalam penelitian ini dapat menjadi rekomendasi untuk kasus-kasus kebijakan publik lainnya.











1 Seperti misalnya yang dikemukakan oleh James P. Lester dan Joseph Stewart (2000). Public Policy: An Evolutionary Approach. Second Edition. Australia: Wadsworth.

2 Dalam pengertiannya good governance berupaya mencapai pemerintahan yang bersih dan bebas dari praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme.

3 Drs.H.Abdul Kahar Badjuri dan Drs.Teguh Yuwono, M.Pol.Admin. Kebijakan Publik Konsep dan Strategi

4 Kingdon 199, halaman 33

5 Jurnal Wacana No 4 Tahun III 2002, hal 95

6 Prof.Dr.Baharuddin Lopa, SH dalam tulisannya diharian KOMPAS tanggal 21 Juli 1997

7 Ibid

8 Ibid

9 Prof.Dr.Baharuddin Lopa, SH dalam buku Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum, halaman 87

Tidak ada komentar: