BAB IV
PEMBAHASAN
Mal-Administrasi
Mal Administrasi adalah suatu praktek yang menyimpang dari etika administrasi atau suatu praktek administrasi yang menjauhkan dari pencapaian tujuan administrasi (Widodo Joko, 2001).
Menurut Nigro & Nigro (dalam Muhadjir Darwin,1999), terdapat 8 bentuk Mal-Administrasi yaitu:
Ketidakjujuran (dishonesty), yaitu suatu tindakan administrasi yang tidak jujur. Dikatakan tidak jujur karena tindakan tersebut berbahaya dan menimbulkan ketidakpercayaan (distrust) dan dalam beberapa contoh (mengambil uang barang publik untuk kepentingan sendiri, menerima uang suap dari pelanggan, menarik pungutan liar, dsb) dapat merugikan kepentingan organisasi atau masyarakat.
Perilaku yang buruk (unethical behaviour), misalnya seorang pegawai administrator publik melakukan tindakan dalam batas-batas yang diperkenankan hukum tetapi tindakan tersebut dapat digolongkan sebagai tidak etis sehingga tidak dapat dituntut secara hukum, misalnya: seorang pimpinan minta agar meluluskan seorang familinya dalam seleksi pegawai.
Mengabaikan hukum (disregard of the law), yaitu pegawai administrator publik yang mengabaikan hukum atau membuat tafsiran hukum yang menguntungkan kepentingannya. Misalnya: seorang pegawai kantor memakai mobil dinas untuk kepentingan keluarga padahal tahu secara hukum hanya diperuntukkan kepentingan dinas.
Faforitisme dalam menafsirkan hukum, yaitu pejabat atau pegawai di suatu instansi tetap mengikuti hukum yang berlaku tetapi hukum tersebut ditafsirkan untuk menguntungkan kepentingan tertentu.
Perlakukan yang tidak adil terhadap pegawai, yaitu seorang pegawai yang diperlakukan secara tidak adil, misalnya seorang pimpinan yang menghambat karirnya karena merasa tersaing.
Inefisiensi bruto (gross ineffienssy), yaitu apapun bagus maksudnya jika suatu instansi tidak mampu melakukan tugasnya secara memadai maka para adminsitrator tersebut dapat dikatakan gagal. Misalnya: pemborosan dana secara berlebihan.
Menutup-nutupi kesalahan, yaitu seorang pegawai yang menutup-nutupi kesalahan sendiri atau kesalahan bawahannya, menola diperiksa atau dikontrol legislatif, melarang pers meliput kesalahannya atau instansinta semua itu dilakukan untuk melindungi diri atau posisi tertentu.
Gagal menunjukkan inisiatif, yaitu seorang pegawai yang gagal membuat keputusan yang positif atau menggunakan diskresi (keleluasaan) yang diberikan hukum kepadanya.
Salah satu bentuk dari Mal-Administrasi adalah KORUPSI, yaitu bentuk perbuatan menggunakan barang publik, bisa berupa uang dan jasa, untuk kepentingan memperkaya diri dan bukan untuk kepentingan publik. Korupsi dilihat dari proses terjadinya perilaku korupsi dapat dibedakan dalam tiga bentuk:
Graft, yaitu korupsi yang bersifat internal (korupsi yang dilakukan tanpa melibatkan pihak ketiga: menggunakan atau mengambil barang kantor, uang kantor, jabatan kantor untuk kepentingan sendiri). Korupsi ini terjadi karena mereka mempunyai kedudukan dan jabatan di Kantor tersebut. Dengan wewenangnya para bawahan tidak dapat menolak permintaan atasannya. Mereka justru berkewajiban melayani atasannya, bila menolak atau mencegah permintaan atasan maka dianggap sebagai tindakan yang tidak loyal terhadap atasan.
Bribery (penyogokan, penyuapan), yaitu tindakan korupsi yang melibatkan orang lain di luar dirinya (instansinya). Tindakan ini dilakukan dengan maksud agar dapat mempengaruhi objektivitas dalam membuat keputusan atau keputusan yang dibuat akan menguntungkan pemberi, penyuap atau penyogok. Tindakan ini bisa berupa materi ataupun jasa, korupsi semacam ini seringkali terjadi pada dinas/instansi yang mempunyai tugas pelayanan, menerbitkan surat ijin, rekomendasi dan sebagainya sehingga mereka yang berkepentingan lebih suka mencari calo, memberi uang pelicin agar urusannya dapat diperlancar.
Nepotism, yaitu tindakan korupsi berupa kecenderungan pengambilan keputusan yang tidak berdasar pada pertimbangan objektif, rasional, tapi didasarkan atas pertimbangan ”nepitis” dan” kekerabatan”,(misalnya: masih teman, keluarga, golongan, pejabat, dan sebagainya). Mereka melakukan tindakan terbut karena akan merasa aman dan dilindungi.
Sedangkan korupsi bila dilihat dari sifat korupsinya dibedakan menjadi dua yaitu:
Korupsi Individualis, yaitu penyimpangan yang dilakukan oleh salah satu atau beberapa orang dalam suatu organisasi dan berkembang suatu mekanisme muncul, hilang dan jika ketahuan pelaku korupsi akan terkena hukuman yang bisa berupa disudutkan, dijauhi, dicela, dan bahkan diakhiri nasib karirnya. Perilaku korup ini dianggap oleh kelompok (masyarakat) sebagai tindakan yang menyimpang, buruk, dan tercela.
Korupsi Sistemik, yaitu korupsi yang dilakukan oleh sebagian besar (kebanyakan) orang dalam suatu organisasi (melibatkan banyak orang). Dikatakan sistemik karena tindakan korupsi ini bisa diterima secara wajar atau biasa (tidak menyimpang) oleh orang-orang yang berada di sekitarnya yang merupakan bagian dari suatu realita.Jika ketahuan maka diantara mereka akan saling melindungi, menutup-nutupi dan mendukung satu sama lain demi untuk menyelamatkan orang yang ketahuan tersebut.
Faktor-faktor timbulnya Mal-Administrasi ada 2, yaitu:
Faktor Internal, yaitu faktor yang berupa kepribadian seseorang yang berwujud suatu niat, kemauan, dorongan yang tumbuh dari dalam diri seseorang untuk melakukan tindakan mal-administrasi. Faktor inji disebabkan oleh lemahnya mental, dangkalnya agama dan keimanan sehingga memudahkan mereka untuk melakukan suatu tindakan mal-adminsitrasi.
Faktor Eksternal, yaitu faktor yang berasal dari luar diri sesorang yang melakukan tindakan mal-administrasi, disebabkan karena lemahnya peraturan, lemahnya lembaga kontrol, lingkungan kerja dan sebagainya yang membuka peluang (kesempatan) untuk melakukan tindakan mal-administasi (korupsi).
Strategi Penanggulangankorupsi
proses penegakan hukum oleh aparat penegak hukum (polisi, jaksa dan hakim), khususnya berkenaan dengan perkarakorupsi di daerah-daerah dapat dikatakan telah mengalami kemajuan yang cukup signifikan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya jumlah kasuskorupsi yang dapat diungkap oleh aparat-aparat penegak hukum di daerah. Keberhasilan ini tidak lepas dari peran serta masyarakat dan lembaga-lembaga independen yang konsen terhadap upaya penegakan hukum dan pemberantasankorupsi.
Namun, pengungkapan kasuskorupsi ini seringkali tidak diimbangi dengan penanganan yang serius, sehingga dalam proses peradilannya penanganan kasus-kasus tersebut seringkali tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat. “Ketidakseriusan” ini sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari dua hal, yaitu: (i) besarnya intervensi politik dan kekuasaan, dan (ii) relatif lemahnya moral dan integritas aparat penegak hukum.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Petter Langseth mengungkapkan bahwa setidak-tidaknya ada empat strategi yang dapat diterapkan untuk mengurangi intensitaskorupsi di daerah, yaitu:13
1. Memutus serta merampingkan (streamlining) jaringan proses birokrasi yang bernuansa primordial di kalangan penentu yang, baik itu yang berada di lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif, sehingga tata kerja dan penempatan pejabat pada jabatan atau posisi-posisi tertentu benar-benar dapat dilaksanakan secara akuntabel dan profesional serta dilaksanakan dengan pertimbangan profesionalisme dan integritas moral yang tinggi;
2. Menerapkan sanksi pidana yang maksimal secara tegas, adil dan konsekuen tanpa ada diskriminasi bagi para pelakukorupsi, dalam arti bahwa prinsip-prinsip negara hukum benar-benar harus diterapkan secara tegas dan konsekuen, terutama prinsip equality before the law;
3. Para penentu yang, baik di bidang pemerintahan maupun di bidang penegakan hukum harus memiliki kesamaan visi, profesionalisme, komitmen, tanggungjawab dan integritas moral yang tinggi dalam menyelesaikan kasus-kasuskorupsi; dan
4. Memperjelas serta memperkuat mekanisme perlindungan saksi.
Selain keempat strategi yang dikemukakan oleh Langseth di atas, Dye dan Stapenhurst menambahkan bahwa perlu pula dilakukan upaya-upaya untuk memperkuat “Pillars of Integrity” yang melibatkan delapan pillars of integrity sebagai berikut:14 (1) lembaga eksekutif, (2) lembaga parlemen, (3) lembaga kehakiman, (4) lembaga-lembaga pengawas (watchdog agencies)15, (5) media, (6) sektor swasta,16 (7) masyarakat sipil,17 dan (8) lembaga-lembaga penegakan hukum.18
Sementara itu, dalam perspektif yang agak berbeda, Indriyanto Senoadji berpendapat bahwa untuk meminimalisasikorupsi yang telah menjadi satu permasalahan sistemik dan terstruktural yang sangat utuh terakar, kuat serta permanen sifatnya diperlukan usaha yang maksimal bagi penegakan hukum, yaitu melalui pendekatan sistem itu sendiri (systemic approach).
Pendekatan sistemik sebagaimana ditawarkan oleh Indriyanto Senoadji memiliki tiga lapis makna, yaitu: (1) maksimalisasi peran sistem ”Peradilan Pidana” secara luas, (2) koordinasi dan kepaduan antara aparat-aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa dan Pengadilan, bahkan termasuk advokat), dan (3) pembenahan hukum yang meliputi struktur / legal structure, substansi / legal substance dan budaya hukum / legal culture.19
Pada lapis makna yang pertama (maksimalisasi peran sistem peradilan pidana secara luas), pemberantasankorupsi tidak semata-mata dilakukan dengan memaksimalkan peran lembaga pengadilan sebagai suatu sub sistem. Ini terkait erat dengan lapis makna yang kedua (koordinasi dan kepaduan antar aparat penegak hukum yang meliputi Polisi, Jaksa dan Pengadilan serta advokat). Kait-mengkait antara sub-sub sistem tersebut bersifat saling pengaruh-mempengaruhi layaknya roda lokomotif yang berirama dan sistematis. Konkritnya, dibutuhkan kesamaan visi, koordinasi dan kerjasama yang baik di antara sub-sub sistem tesebut untuk dapat menghasilkan suatu upaya pemberantasankorupsi yang berhasil guna dan berdaya guna.
Selanjutnya, perlu pula diperhatikan lapis ketiga dari makna pendekatan sistemik, yaitu pembenahan hukum yang meliputi struktur / legal structure, substansi / legal substance dan budaya hukum / legal culture. Pembenahan struktur hukum meliputi perbaikan segala kelembagaan atau organ-organ yang menyelenggarakan peradilan, sehingga dapat meminimalisasi KKN. Dalam hal ini, birokrasi dan struktur peradilan serta pengawasan fungsi peradilan merupakan bagian-bagian yang selayaknya mendapatkan pembenahan. Selanjutnya, pembenahan substansi hukum yang dimaksudkan oleh Indriyanto Senoadji adalah menyangkut pembaharuan terhadap berbagai perangkat peraturan dan ketentuan normatif (legal reform), pola serta kehendak perilaku masyarakat yang ada dalam sistem hukum tersebut. Dalam kerangka pembenahan substansi hukum ini, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 berikut perubahan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi masih memerlukan beberapa revisi sesuai dengan sifat dinamis dari tindak pidanakorupsi tersebut. Revisi terhadap undang-undang tersebut antara lain berupa implementasi terhadap akseptabilitas Sistem Pembalikan Beban Pembuktian atau Reversal Burden of Proof (Omkering van Bewijslast) yang dinilai penting dan mendesak mengingatkorupsi telah menjadi suatu kejahatan serius yang harus ditindaklanjuti dengan upaya sarana pemberantasan yang bersifat extra ordinary pula, antara lain melalui Sistem Pembalikan Beban Pembuktian.
Terakhir, pembenahan budaya hukum merupakan aspek signifikan yang melihat bagaimana masyarakat menganggap ketentuan-ketentuan sebagai civic minded (berpihak pada kepentingan masyarakat) sehingga masyarakat akan selalu taat dan sadar akan pentingnya hukum sebagai suatu regulasi umum. Hal ini terkait erat dengan persoalan etika dan moral masyarakat serta pejabat penegak hukum dalam menyikapi KKN. Masalah rendahnya moral dan budaya hukum inilah yang sangat penting dalam pembangunan hukum Indonesia, khususnya dalam kerangka pemberantasankorupsi.20 Terhadap hal ini, kiranya pemerintah dapat mengkampanyekan pemberantasankorupsi dengan cara memasukkan ajaran-ajaran tentang moral dan etika ke dalam sistem pendidikan nasional serta mendorong dan memobilisai murid-murid di sekolah-sekolah untuk menciptakan suatu iklim sosial sedemikian rupa dimana di dalamnyakorupsi menjadi suatu hal buruk yang tidak dapat diterima. Dalam hal ini sekolah dijadikan sebagai ujung tombak yang diharapkan dapat menjangkau sejumlah besar anak. Melalui anak-anak ini lah kampanye antikorupsi diharapkan menyentuh para orang tua mereka dan akhirnya menyentuh masyarakat secara keseluruhan. Pemanfaatan media untuk memobilisasi masyarakat dalam upaya pemberantasankorupsi juga dapat menjadi bagian dari usaha ini.
Ragam Macam Pungutan dan Korupsi Pendidikan
Permasalahan korupsi dalam proyek pendidikan sudah menjadi rahasia umum. Misalnya pembangunan
gedung sekolah sering disoroti sarat dengan korupsi. Tentu ini berpengaruh kepada kualitas bangunan yang tidak layak
atau cepat rusak sebelum nilai ekonomisnya berakhir. Ironis memang, di satu sisi pemerintah berusaha meningkatkan
kualitas pendidikan nasional, tetapi korupsi di bidang ini tetap dan terus terjadi.
Upaya memerangi korupsi dan berbagai penyimpangan lain dalam pembangunan gedung sekolah maupun
penyelenggaraan pendidikan hanya bisa dilakukan bila ada transparansi dalam pengelolaan dana pendidikan. Di tingkat
sekolah, korupsi tidak bisa diperangi dari dalam sekolah, tetapi harus dilakukan dengan memberdayakan orangtua
murid dan masyarakat di sekitar sekolah. Langkah ini tentu bisa dilakukan oleh Departemen Pendidikan Nasional
(Depdiknas).
Depdiknas sebagai departemen yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan dana pendidikan nasional bisa
memulainya dengan membuka akses kepada publik mengenai dana-dana yang diterima, sekolah mana saja yang
menerima dana tersebut, dan untuk apa penggunaan dana tersebut. Selama ini, birokrasi pendidikan-dari pusat, dinas,
sampai kepala sekolah-sangat tertutup dan tidak mau membuka dokumen-dokumen berkaitan dengan proyek-proyek
yang ada di sekolah. Alhasil, informasi tentang pengelolaan dana pendidikan hanya ada di tangan kepala dinas dan
kepala sekolah. Hal ini tentu riskan terhadap penyelewengan dan tidak adanya kontrol dari publik, terutama stake
holder dunia pendidikan.
Kontrol dari dalam sekolah sulit diharapkan karena guru-guru dan siswa tidak mengetahui informasi yang
lengkap tentang proyek tersebut. Ketertutupan pengelolaan dana di tingkat sekolah dilakukan oleh para kepala sekolah
sehingga guru dan siswa tidak bisa melakukan kontrol terhadap pengelolaan dana tersebut. Selain itu, tentulah
kekuasaan birokrasi di sekolah sangat menentukan kontrol yang dilakukan oleh guru dan siswa. Guru yang menuntut
transparansi penggunaan dana di sekolah dengan mudah bisa dipindah oleh kepala sekolah ke sekolah lain.Kondisi
tersebut memerlukan keterlibatan dan kontrol dari masyarakat. Keterlibatan dan kontrol ini menjadi penting untuk
menghindari penyelewengan dan memenuhi aspek transparansi dalam pengelolaan dana pendidikan. Selama ini
keterlibatan masyarakat selalu diartikan menarik dana dari masyarakat untuk pendidikan, terutama sekolah. Setelah itu
masyarakat tidak pernah diberi tahu bagaimana dan untuk apa penggunaan dana tersebut
Disisi lain Beragamnya biaya sekolah telah yang mengganjal masyarakat untuk terus menyekolahkan
anaknya. Malah porsi terbesar pengeluaran keluarga dihabiskan untuk membayar kewajiban yang dibebankan oleh
sekolah. Untuk itu mereka kerap mengorbankan kebutuhan primer lainnya seperti makan, baik kualitas maupun
kuantitasnya, untuk memenuhi biaya sekolah. Di sisi lain, pihak sekolah tidak mau kompromi bila orang tua siswa
belum mampu memenuhi kewajibannya. Biasanya sangsi ditimpakan pada siswa, misalnya, dengan cara mengucilkan
atau menegur di depan kelas. Tapi cara yang paling umum dipakai adalah dengan menahan hak-hak siswa, seperti
rapor atau ijazah.
Banyaknya biaya yang dibebankan kepada orangtua murid ini menunjukkan pendidikan gratis di dibebankan
kepada orang tua murid. Hasilnya menunjukkan banyak aneka potongan yang dibebankan oleh sekolah. Paling tidak
48 Data Diolah
ada 19 dana potongan ditemukan di lokasi penelitian yaitu SD dan SMP/sedrajat, seperti biaya ujian, bangunan
sekolah, seragam sekolah, seragam olahraga, buku paket, wisata belajar (study tour), kegiatan ekstrakulikuler, daftar
ulang, rapor siswa, OSIS,UKS, perpustakaan, perayaan hari raya besar, dana taktis sekolah, gaji guru honorer hingga
mutasi kepala sekolah. Banyaknya biaya yang dibebankan kepada orang tua murid ini menunjukkan pendidikan gratis
dipemotongan itu sebaiknya dilakukan secara transparan, misalnya, pihak sekolah memungut sejumlah uang,
didiskusikan secara terbuka dengan pihak orang tua siswa baik keperluan maupun besarnya potongan. Akan tetapi dari
hasil survei ditemukan banyak potongan yang dikenakan pihak sekolah kepada orang tua murid tanpa melalui diskusi
yang transparan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar