BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Kebijakan publik
Kebijakan publik merupakan ilmu yang relatif baru karena baru berkembang pesat di Amerika Utara dan Eropa setelah perang dunia kedua. Ilmu ini sesungguhnya merupakan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan dan sinisme terhadap ilmu politik oleh karena ilmu politik dipandang tidak aplikabel, tidak praktis dan lebih bersifat analitis teoritis belaka. Sebagai bagian khusus dari ilmu politik dan mempuyai korelasi yang cukup kuat dengan ilmu hukum, ilmu pemerintahan, ilmu administrasi publik, ilmu manajemen, ilmu ekonomi-politik dan ilmu-ilmu lainnya. Maka, ilmu kebijakan publik ini membekali diri dalam kerangka proses dan upaya menyediakan solusi sosial yang timbul dalam masyarakat.
Ilmu kebijakan publik ini berkembang pesat oleh karena kebutuhan analisis kebijakan yang memang dibutuhkan pada hampir semua departemen ataupun lembaga-lembaga publik. Analisis kebijakan menjadi penting dan strategis oleh karena keahlian yang spesifik dari bidang ini khususnya bagaimana menyediakan berbagai alternatif yang tersedia sebelum kebijakan publik diambil. Kemampuan dalam menyediakan berbagai alternatif dengan berbagai dampak kebijakan yang mungkin akan dihasilkan membuat ilmu ini menjadi fokus perkembangan dari ilmu politik dalam waktu-waktu ini dan kemungkinan prospek kedepan.1
Istilah kebijakan publik sebenarnya telah sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari dan dalam kegiatan-kegiatan akademis, seperti dalam kuliah-kuliah ilmu politik. Menurut Charles O. Jones2 istilah kebijakan (policy term) digunakan dalam praktek sehari-hari namun digunakan untuk menggantikan kegiatan atau keputusan yang sangat berbeda. Istilah ini sering dipetukarkan dengan tujuan (goals), program, keputusan (decisions), standard, proposal, dan grand design.
Namun demikian, meskipun kebijakan publik mungkin kelihatannya sedikit abstrak atau mungkin dapat dipandang sebagai sesuatu yang “terjadi” terhadap seseorang. Namun sebenarnya sebagaimana beberapa contoh yang telah dipaparkan diatas, pada dasarnya kita telah dipengaruhi secara mendalam oleh banyak kebijakan publik dalam kehidupan sehari-hari.
Secara umum, istilah “kebijakan” atau “policy”3 digunakan untuk menunjukan perilaku seorang aktor (misalnya pejabat, suatu kelompok, maupun suatu lembaga pemerintah) atau sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu. Pengertian kebijakan seperti ini dapat kita gunakan dan relatif memadai untuk keperluan pembicaraan- pembicaraan biasa, namun menjadi kurang memadai untuk pembicaraan-pembicaraan yang lebih bersifat ilmiah dan sistematis yang menyangkut analisisis kebijakan publik. Oleh karena itu, kita memerlukan batas-batas atau konsep kebijakan publik yang lebih tepat.
Pada dasarnya terdapat banyak batasan atau defenisi mengenai apa yang dimaksud kebijakan publik (public policy) dalam literatur-literatur ilmu politik. Masing-masing defenisi tersebut memberi penekanan yang berbeda-beda. Perbedaan ini timbul karena masing-masing ahli mempunyai latar belakang yang berbeda-beda. Sementara disisi yang lain, pendekatan dan model yang digunakan para ahli pada akhirnya juga akan menentukan bagaimana kebijakan publik tersebut hendak didefenisikan. Misalnya, apakah kebijakan dilihat sebagai rangkaian keputusan yang dibuat oleh pemerintah atau sebagai tindakan-tindakan yang dampaknya dapat diramalkan?
Dalam kesempatan ini kita akan menyebut beberapa batasan saja untuk keperluan analisis, kegunaan dari masing-masing konsep atau defenisi yang kita bicarakan akan dijelaskan kemudian. Selanjutnya, suatu batasan operasional akan kita berikan dengan cara menunjukan ciri-ciri utama dari setiap konsep atau defenisi yang kita bicarakan. Hal ini dilakukan agar dapat memperoleh manfaat yang lebih besar serta lebih mudah dalam mengkomunikasikan konsep-konsep tersebut.
Salah satu defenisi mengenai kebijakan publik diberikan Robert Eyestone. Ia mengatakan bahwa “secara luas” kebijakan publik dapat didefenisikan sebagai “hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungannya”.4 Konsep yang ditawarkan Eyestone ini mengandung pengertian yang sangat luas dan kurang pasti karena apa yang dimaksud dengan kebijakan publik dapat mencakup banyak hal. Batasan lain tentang kebijakan publik diberikan oleh Thomas R, Dye yang menyatakan bahwa “kebijakan publik adalah apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan”.5 Walaupun batasan yang diberikan oleh Dye ini dianggap agak tepat, namun batasan ini tidak cukup memberi pembeda yang jelas antara apa yang diputuskan oleh pemerintah untuk dilakukan dan apa yang sebenarnya dilakukan pemerintah. Disamping itu, konsep ini bisa mencakup tindakan-tindakan, seperti pengangkatan pegawai baru atau pemberian lisensi. Suatu tindakan yang sebenarnya berada diluar domain kebijaksanaan publik.
Seorang pakar ilmu politik lain, Richard Rose menyarankan bahwa kebijakan hendaknya dipahami sebagai “serangkaian kegiatan yang sedikit banyak berhubungan beserta konsekuensi-konsekuensinya bagi mereka yang bersangkutan daripada suatu keputusan tersendiri”.6 Defenisi ini sebenarnya bersifat ambigu, namun defenisi ini berguna karena kebijakan dipahami sebagai arah atau pola kegiatan dan bukan sekedar suatu keputusan untuk melakukan sesuatu.
Akhirnya marilah kita mendiskusikan defenisi yang diberikan oleh Carl Friedrich. Ia memandang kebijakan sebagai suatu arah tindakan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu yang memberikan hambatan-hambatan dan peluang-peluang terhadap kebijakan yang diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu tujuan atau merealisasikan suatu sasaran atau maksud tertentu.
Defenisi yang diberikan oleh Friedrich ini menyangkut dimensi yang luas karena kebijakan tidak hanya dipahami sebagai tindakan yang dilakukan oleh pemerintah, tetapi juga oleh kelompok maupun individu. Selain itu, gagasan bahwa kebijakan mencakup perilaku yang mempunyai maksud yang layak mendapatkan perhatian dan sekaligus harus dilihat sebagai bagian defenisi kebijakan publik yang penting, sekalipun maksud atau tujuan dari tindakan-tindakan pemerintah yang dikemukakan dalam defenisi ini mungkin tidak selalu mudah dipahami.
Namun demikian, satu hal yang harus diingat dalam mendefenisikan kebijakan, adalah bahwa pendefinisian kebijakan tetap harus mempunyai pengertian mengenai apa yang sebenarnya dilakukan, ketimbang apa yang diusulkan dalam tindakan mengenai suatu persoalan tertentu. Hal ini dilakukan karena kebijakan merupakan suatu proses yang mencakup pula tahap implementasi dan evaluasi sehingga defenisi kebijakan yang hanya menekankan pada apa yang diusulkan menjadi kurang memadai.
Oleh karena itu, defenisi mengenai kebijakan publik akan lebih tepat bila defenisi tersebut mencakup pula arah tindakan atau apa yang dilakukan dan tidak semata-mata menyangkut usulan tindakan. Berdasarkan pada pertimbangan seperti ini, maka defenisi kebijakan publik yang ditawarkan oleh James Anderson lebih tepat dibandingkan dengan defenisi-defenisi kebijakan publik yang lain.
Menurut Anderson kebijakan merupakan arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau persoalan.7 Konsep kebijakan ini kita anggap tepat karena memusatkan perhatian pada apa yang sebenarnya dilakukan dan bukan pada apa yang diusulkan atau dimaksudkan. Selain itu, konsep ini juga membedakan kebijakan dari keputusan yang merupakan pilihan di antara berbagai alternatif yang ada.
Sementara itu, Amir Santoso dengan mengkomparasikan berbagai defenisi yang dikemukakan oleh para ahli yang menaruh minat dalam bidang kebijakan publik menyinpulkan bahwa pada dasarnya pandangan mengenai kebijakan publik dapat dibagi kedalam dua wilayah kategori.8 Pertama, pendapat ahli yang menyamakan kebijakan publik dan tindakan-tindakan pemerintah. Para ahli dalam kelompok ini cenderung menganggap bahwa semua tindakan pemerintah dapat disebut sebagai kebijakan publik. Pandangan kedua, menurut Amir Santoso berangkat dari para ahli yang memberikan perhatian khusus kepada pelaksanaan kebijakan. Para ahli yang memberikan perhatian khusus kepada pelaksana kebijakan. Para ahli yang masuk dalam kategori ini terbagi ke dalam dua kubu, yakni mereka yang memandang kebijakan publik sebagai keputusan-keputusan pemerintah yang mempunyai tujuan dan maksud-maksud tertentu, dan mereka yang menganggap kebijaksanaan publik sebagai sesuatu yang memiliki akibat-akibat yang bisa diramalkan. Para ahli yang termasuk ke dalam kubu yang pertama melihat kebijakan publik ke dalam tiga lingkungan, yakni perumusan kebijakan, pelaksanaan kebijakan dan penilaian. Dengan kata lain, menurut kubu ini kebijakan publik secara ringkas dapat dipandang sebagai proses perumusan, implementasi dan evaluasi kebijakan. Ini berarti bahwa kebijakan publik adalah “serangkaian instruksi dari para pembuat keputusan kepada pelaksanaan kebijakan yang menjelaskan tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut”.9 Sedangkan kubu kedua lebih melihat kebijakan publik terdiri dari rangkaian keputusan dan tindakan. Kubu kedua ini diwakili oleh Presman dan Wildavsky yang mendefenisikan kebijakan publik sebagai suatu hipotesis yang mengandung kondisi-kondisi awal dan akibat-akibat yang bisa diramalkan.10
Tentu saja masih banyak kategori dan defenisi yang dapat dikemukakan menyangkut kebijakan publik. Masing-masing defenisi tersebut cukup memuaskan untuk menjelaskan satu aspek, namun besar kemungkinan gagal dalam menjalankan aspek yang lain. Oleh karena itu, preposisi yang menyatakan bahwa kebijakan publik merupakan kebijakan yang dikembangkan oleh lembaga-lembaga pemerintah dan pejabat-pejabat pemerintah harus mendapat perhatian sebaik-baiknya agar kita bisa membedakan kebijakan publik dengan bentuk-bentuk kebijakan yang lain, seperti misalnya kebijakan yang dikeluarkan oleh pihak swasta. Kebijakan tersebut dipengaruhi oleh aktor-aktor dan faktor-faktor bukan pemerintah, seperti misalnya kelompok-kelompok penekan (pressure groups), maupun kelompok-kelompok kepentingan (interest groups).
Keterlibatan aktor-aktor dalam perumusan kebijakan kemudian menjadi ciri khusus dari kebijakan publik. Ini disebabkan oleh kenyataan bahwa kebijakan itu diformulasikan oleh apa yang dikatakan oleh David Easton sebagai “penguasa” dalam suatu sistem politik, yaitu para sesepuh tertinggi suku, anggota-anggota eksekutif, legislatif, yudikatif, administrator, penasihat, raja dan semacamnya. Menurut Easton, mereka ini merupakan orang-orang yang terlibat dalam masalah sehari-hari dalam suatu sistem politik, mempunyai tanggung jawab untuk masalah-masalah ini, dan mengambil tindakan-tindakan yang diterima secara mengikat dalam waktu yang panjang oleh sebagian terbesar anggota sistem politik selama mereka bertindak dalam batas-batas peran yang diharapkan.11
Menurut Anderson, konsep kebijakan publik ini kemudian mempunyai beberapa implikasi, yakni12
Pertama, titik perhatian kita dalam membicarakan kebijakan publik berorientasi pada maksud atau tujuan dan bukan perilaku secara serampangan. Kebijakan publik secara luas dalam sistem politik modern bukan sesuatu yang terjadi begitu saja melainkan direncanakan oleh aktor-aktor yang terlibat dalam sistem politik. Kedua, kebijakan merupakan arah atau pola tindakan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah dan bukan merupakan keputusan-keputusan yang tersendiri. Suatu kebijakan mencakup tidak hanya keputusan untuk menetapkan undang-undang mengenai suatu hal, tetapi juga keputusan-keputusan beserta dengan pelaksanaannya. Ketiga, kebijakan adalah apa yang sebenarnya dilakukan oleh pemerintah dalam mengatur perdagangan, mengendalikan inflasi, atau mempromosikan perumahan rakyat dan bukan apa yang diinginkan oleh pemerintah. Jika lembaga legislatif menetapkan undang-undang yang mengharuskan pengusaha menggaji karyawannya dengan upah minimum menurut undang-undang, tetapi tidak ada sesuatu pun yang dilakukan untuk melaksanakan undang-undang tersebut sehingga tidak ada perubahan yang timbul dalam perilaku ekonomi maka hal ini dapat dikatakan bahwa kebijakan publik mengenai kasus ini sebenarnya merupakan salah satu dari non-regulasi upah.
Keempat, kebijakan publik mungkin dalam bentuknya bersifat positf atau negatif. Secara positif, kebijakan mungkin mencakup bentuk tindakan pemerintah yang jelas untuk mempengaruhi suatu masalah tertentu. Secara negatif, kebijakan mungkin mencakup suatu keputusan oleh pejabat-pejabat pemerintah, tetapi tidak untuk mengambil tindakan dan tidak untuk melakukan sesuatu mengenai suatu persoalan yang memerlukan keterlibatan pemerintah. Dengan kata lain, pemerintah dapat mengambil kebijakan untuk tidak melakukan campur tangan dalam bidang-bidang umum maupun khusus. Kebijakan untuk tidak campur tangan mungkin memiliki konsekuensi-konsekuensi besar terhadap masyarakat atau kelompok-kelompok masyarakat. Dalam bentuknya yang positif, kebijakan publik didasarkan pada undang-undang yang bersifat otoritatif. Anggota-anggota masyarakat menerima secara sah bahwa pajak harus dibayar dan Undang-Undang Perkawinan harus dipatuhi. Pelanggaran terhadap kebijakan ini berarti menghadapi resiko denda, hukuman kurungan atau dikenakan secara sah oleh sanksi-sanksi lainnya. Dengan demikian, kebijakan publik mempunyai sifat “paksaan” yang secara potensial sah dilakukan. Sifat memaksa ini tidak dimiliki oleh kebijakan yang diambil oleh organisasi-organisasi swasta, hal ini berarti kebijakan publik menunjukan ketaatan yang luas dari masyarakat. Sifat yang terakhir inilah yang membedakan kebijakan publik dengan kebijakan lainnya.
Sifat kebijakan publik sebagai arah tindakan dapat dipahami secara lebih baik bila konsep ini di rinci menjadi beberapa kategori. Kategori-kategori itu antara lain adalah tuntutan-tuntutan kebijakan (policy demands), keputusan-keputusan kebijakan (policy decisions), pernyataan-pernyataan kebijakan (policy statements), hasil-hasil kebijakan (policy outputs), dan dampak-dampak kebijakan (policy outcomes).13
Tuntutan-tuntutan kebijakan (policy demands) adalah tuntutan-tuntutan yang dibuat oleh aktor-aktor swasta atau pemerintah, ditujukan kepada pejabat-pejabat pemerintah dalam suatu sistem politik. Tuntutan-tuntutan tersebut berupa desakan agar pejabat-pejabat pemerintah mengambil tindakan atau tidak mengambil tindakan mengenai suatu masalah tertentu. Biasanya tuntutan-tuntutan ini diajukan oleh berbagai kelompok dalam masyarakat dan mungkin berkisar antara desakan secara umum bahwa pemerintah harus “berbuat sesuatu” sampai usulan agar pemerintah mengambil tindakan tertentu mengenai suatu persoalan.
Sementara itu, keputusan kebijakan (policy decisions) didefenisikan sebagai keputusan-keputusan yang dibuat oleh pejabat-pejabat pemerintah yang mengesahkan atau memberi arah dan substansi kepada tindakan-tindakan kebijakan publik. Termasuk dalam kegiatan ini adalah menetapkan undang-undang, memberikan perintah-perintah eksekutif atau pernyataan-pernyataan resmi, mengumumkan peraturan adminstratif atau membuat interpretasi yuridis terhadap undang-undang.
Sedangkan pernyataan-pernyataan kebijakan (policy statements) adalah pernyataan-pernyataan resmi atau artikulasi-artikulasi kebijakan publik. Yang termasuk dalam kategori ini adalah undang-undang legislatif, perintah-perintah dan dekrit presiden, peraturan-peraturan administratif dan pengadilan, maupun pernyataan-pernyataan atau pidato-pidato pejabat-pejabat pemerintah yang menunjukan maksud dan tujuan pemerintah dan apa yang dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.
Hasil-hasil kebijakan (policy outputs) lebih merujuk pada “manifestasi nyata” dari kebijakan-kebijakan publik yaitu hal yang sebenarnya dilakukan menurut keputusan-keputusan dan pernyataan-pernyataan kebijakan. Dengan menggunakan kalimat yang lebih sederhana, hasil-hasil kebijakan dapat diungkapkan sebagai apa yang dilakukan oleh suatu pemerintah dan keberadaannya perlu dibedakan dari apa yang dinyatakan oleh pemerintah untuk melakukan sesuatu. Disini perhatian kita difokuskan kepada masalah-masalah seperti pembayaran pajak, pembangunan jalan-jalan raya, penghilangan hambatan-hambatan perdagangan, maupun pemberantasan usaha-usaha penyelundupan barang. Penyelidikan mengenai hasil-hasil kebijakan mungkin akan menunjukan bahwa kebijakan dalam kenyataannya agak atau sangat berbeda dari apa yang tersirat dalam pernyataan-pernyataan kebijakan. Dengan demikian, kita dapat membedakan antara dampak-dampak kebijakan dengan hasil-hasil kebijakan. Hasil-hasil kebijakan lebih berpijak pada manifestasi nyata kebijakan publik, sedangkan dampak-dampak kebijakan (policy outcomes) lebih merujuk pada akibat-akibatnya bagi masyarakat, baik yang diinginkan atau tidak diinginkan yang berasal dari tindakan atau tidak adanya tindakan pemerintah.
Kebijakan pemerintah di Indonesia di bidang pertanian dapat dipakai untuk menjelaskan konsep ini. Dengan mudah kita dapat mengukur hasil-hasil kebijakan pertanian – jumlah kredit yang diberikan, jumlah petani yang mendapat kredit dan sarana produksi, tingkat rata-rata kredit dan sebagainya. Pertanyaan-pertanyaan seperti: apakah dampak atau akibat dari tindakan-tindakan ini? Apakah bantuan kredit dan sarana produksi meningkatkan produksi padi petani sehingga pada gilirannya memperbaiki kehidupan sosial dan ekonomi petani? Pertanyaan-pertanyaan ini pada dasarnya mengarahkan perhatian kita kepada dampak dari kebijakan publik, suatu hal yang merupakan perhatian utama dalam analisis kebijakan publik. Sementara itu, bila kita ingin mengetahui apakah kebijakan- kebijakan publik mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya, maka pertanyaan seperti ini telah mengarah ke tugas evaluasi kebijakan.
Teori Perencanaan Kebijakan Publik
Jika dilakukan analisis secara sangat detail dan komperehensif maka sangat banyak teori yang mempengaruhi perencanaan (pembuatan keputusan) kebijakan publik. Berbagai teori politik, ekonomi dan sosial mempengaruhi proses perencanaan kebijakan publik Namun secara garis besar, ada tiga kelompok teori besar yang mempengaruhi perencanaan kebijakan publik yaitu teori Pluralisme, Marxisme dan Institusionalisme.14
a. Teori Pluralisme
Teori ini berasumsi dasar bahwa oleh karena kenyataan bahwa sistem sosial ini terdiri dari berbagai elemen yang mungkin mirip atau berbeda satu sama lain maka perencanaan kebijakan publik harus melihat dan menghormati kenyataan ini dan mesti mengintegrasikannya dalam proses pembuatan keputusan. Teori pluralisme kemudian berkembang menjadi tiga kelompok besar yaitu teori kelompok (Group Theory), teori tiga wajah kekuasaan (Three Faces of Power) dan teori Neo-pluralisme.
Teori kelompok; pada dasarnya bergumen bahwa seorang individu tidak akan pernah efektif dalam mempengaruhi proses pembuatan keputusan jika dirinya tidak meleburkan diri dalam sebuah kelompok besar. Dengan kelompok maka akan menjadi sebuah kekuatan yang efektif dalam mempengaruhi kebijakan publik. Oleh karena teori ini, kemudian muncul konsep interest groups dan preasure groups (kelompok penekan dan kelompok kepentingan) yang sangat berperan dan penting dalam studi kebijakan publik. Teori ini berasumsi bahwa kebijakan publik merupakan wahana untuk bersaing mencari pengaruh dimana negara dalam posisi netral. Bahkan teori ini cukup terkenal sejalan dengan konsep teori keseimbangan kelompok sebagai salah satu upaya penting dalam pembutan kebijakan yang responsif.
Teori tiga wajah kekuasaan; merupakan teori yang dikembangkan berdasarkan teori pluralisme oleh Robert Dahl. Tiga wajah kekuasaan ini menyangkut tiga hal pokok yaitu kemandirian (independence), kemampuan mempenetrasi (penetrability) dan heterogenitas (heterogeneity) dari berbagai elemen dalam sistem politik. Walaupun teori ini banyak mendapat kritik, akan tetapi dimensi dari kekuasaan yang memang merefleksikan pluralitas dalam kehidupan sosial politik merupakan sesuatu yang tidak dapat dibantah. Maka tidak mengherankan jika kemudian dalam proses perencanaan kebijakan publik, berbagai segmen dalam sistem kekuasaan akan saling berinteraksi, bernegoisasi, tawar menawar untuk menetapkan sebuah kebijakan publik.
Teori Neo-pluralis; merupakan teori yang dikembangkan lebih lanjut menyangkut tafsir kontemporer teori pluralis. Masih mendasarkan pada fondasi dasar yang sama, teori ini menjelaskan bahwa negara bukanlah lembaga yang netral, walaupun memang banyak kelompok kepentingan dan penekan yang mempengaruhi kebijakan publik. Sebagai akibat dari dari sistem yang pluralis, maka akan menghasilkan suatu kelompok (bisa saja negara atau pemerintah) menjadi privilege sehingga memunculkan structural aspects of power. Adopsi konsep strukturalisme inilah yang mewarnai perbedaan antara pluralisme dengan neo-pluralisme. Kenyataan strukturalisme ini juga merupakan sesuatu yang mempengaruhi dan mewarnai kebijakan publik.
b. Teori Marxisme
Teori marxisme berasumsi pada dasar pemikiran bahwa masyarakat terbagi atas beberapa kelas; dimana setiap kelas ini mempengaruhi posisi atas kekuasaan produksi, baik peralatan maupun sumberdaya. Mereka yang memiliki sedikit kekuasaan produksi disebut sebagai kelas kapitalis, sedang mereka yang sebagian besar tidak memiliki disebut sebagai kelas pekerja. Setidaknya ada empat teori besar yang diturunkan berdasarkan pengembangan Teori Marxisme atau Neo-marxisme, yaitu Teori Instrumentalisme, Teori Struktural fungsional, Teori Otonomi Negara dan Teori Sumberdaya Kekuasaan.
Teori Instrumentalisme, mendasarkan diri pada asumsi bahwa negara hanya alat atau instrumen yang dipakai oleh kelas kapitalis untuk memenuhi kebutuhannya. Hampir dalam semua struktur kekuasaan, kelompok kapitalis memegang peranan sangat penting dan menjadikan negara sebagai alat kapitalismenya.15
Teori Struktural Fungsional dikembangkan oleh Nicos Poulantzas dimana ternyata dalam kelas kapitalis sendiri terjadi perpecahan (class fractions) oleh karena kompetisi kepentingan. Oleh karenanya kemudian muncul kelas dalam kelas yang disebutnya struktural, dimana memang setiap level dari struktur mempunyai fungsinya sendiri-sendiri di dalam sebuah sistem dimana sistem itu bekerja. Ini artinya fungsi merupakan sebuah kebutuhan atas tersedianya struktur tersebut. Walaupun teori ini banyak dipengaruhi marxisme, akn tetapi kenyataan yang tidak bisa dibantah banyak pelaku dan ahli kebijakan publik mendasarkan desain organisasi dan analisis kelembagaannya menggunakan model ini. Memang persoalannya bukan kiri atau kanan akan tetapi lebih kepada asas kemanfaatan.
Teori Otonomi Negara (state autonomy); mendasarkan diri pada pemikiran bahwa oleh karena keterbatasan kelompok pekerja dalam memegang kekuasaan, maka manajer negara (birokrat dan politisi senior) perlu mengelola ekonomi secara efektif dalam rangka merubah sistem (menjadi sistem marxisme) sebagaimana yang diharapkan.
Teori Sumberdaya Kekuasaan (power resources); oleh karena posisi perorangan yang tidak memungkinkan melawan kaum kapitalis, maka seseorang harus bergabung dalam sebuah kelompok untuk menghasilkan sumberdaya kekuasaan yang besar. Jika pekerja mampu membuat kelompok yang besar dan kohesif maka sumberdaya kekuasaan dapat digunakan untuk mencapai tujuan mereka.
Walaupun pendekatan di kelompok marxisme masih juga terdapat berbagai kelemahan, namun teori ini-teori ini banyak mempengaruhi proses pengambilan keputusan baik di lingkup negara global, nasional maupun regional.
c. Teori Institusionalisme
Perbedaan mendasar teori institusionalisme dengan teori pluralisme dan marxisme adalah bahwa jika pluralisme dan marxisme memfokuskan perhatiannya pada masyarakat (society centered), maka teori institusionalisme menekankan diri pada kelembagaan elit pemerintahan (state centered) yang memang memiliki sumberdaya yang kuat dalam proses penyusunan kebijakan publik.
Itu berarti bahwa kebijakan publik sangatlah ditentukan oleh elit politik, birokrat dan pengambil keputusan dalam segmen aktor negara. Oleh karena kemampuan, pengalaman dan pengetahuan yang telah diperoleh dari kebijakan-kebijakan publik yang telah lama maka lembaga negara berikut birokratnya sudah sangat tahu persis apa, bagaimana dan mengapa kebijakan publik mesti ada. Akibat lebih lanjut adalah bahwa aktor negara dan struktur negara akan terus berkembang dan didominasi oleh kelembagaan birokrasi publik.16
Pengalaman pada banyak negara, termasuk Indonesia, pendekatan kelembagaan ini ternyata cukup efektif mempengaruhi manajemen publik negara baik dalam artian sempit maupun arti luas. Dominasinya lembaga mungkin membuktikan adopsi yang besar terhadap teori ini.
Selain itu juga dikembangkan bermacam-macam pendekatan teoritik untuk membantu dalam mempelajari perilaku dari seluruh sistem politik. Sekalipun kebanyakan pendekatan teoritik ini belum dikembangkan secara khusus untuk analisis kebijakan publik, namun pendekatan-pendekatan teoritik ini dapat diubah dengan mudah untuk tujuan tersebut.
B. Beberapa Pendekatan Dalam Analisis Kebijakan Publik
Para Ilmuwan politik telah menciptakan teori-teori untuk membantu mereka dalam memahami dan menjelaskan proses pembuatan keputusan. Mereka juga mengembangkan bermacam-macam pendekatan teoritik untuk membantu mereka dalam mempelajari perilaku dari seluruh sistem politik. Sekalipun kebanyakan pendekatan teoritik ini belum dikembangkan secara khusus untuk analisis kebijakan publik, namun pendekatan-pendekatan teoritik ini dapat diubah dengan mudah untuk tujuan tersebut. Kita akan membahas beberapa pendekatan teoritik yng sering dibicarakan oleh para ahli dalam mngkaji kebijakan publik. Seberapa besar manfaat yang dapat kita ambil dari penggunaan pendekatan-pendekatan teoritik tersebut dalam mengkaji kebijakan publik, tergantung pada sumbangan yang diberikan dalam mengarahkan perhatian kita dan memberi penjelasan bagi kegiatan politik atau dalam kasus kebijakan publik.
1. Pendekatan kelompok
Secara garis besar pendekatan ini menyatakan bahwa pembentukan kebijakan pada dasarnya merupakan hasil dari perjuangan antara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Suatu kelompok merupakan individu-individu yang diikat oleh tingkah laku atau kepentingan yang sama. Mereka mempertahankan dan membela tujuan-tujuan dalam persaingannya dengan kelompok-kelompok lain. Bila suatu kelompok gagal dalam mencapai tujuan-tujuannya melalui tindakannya sendiri, maka kelompok itu biasanya menggunakan politik dan pembentukan kebijakan publik untuk mempertahankan kepentingan kelompoknyta. Berbeda dengan apa yang dimaksud suatu kelompok potensial, adalah sekumpulan individu-individu dengan perilaku yang sama, berinteraksi untuk membentuk suatu kelompok, jika kelompok-kelompok lain mengancam kepentingan-kepentingan mereka. Pada akhirnya, “social equilibrium” dicapai pada waktu pola-pola interaksi kelompok dikarakteristikkan oleh suatu tingkat stabilitas yang tinggi.17
Dalam rangka mempengaruhi kebijakan publik suatu kelompok kepentingan akan menggunakan berbagai macam sumber untuk mempengaruhi pembuatan kebijakan tersebut, seperti uang, prestise, keahlian pengelolaan politik, kepemimpinan, informasi dan perhatian media massa. Sementara itu kelompok-kelompok lain mungkin saja tidak memiliki sumber yang memadai, seperti akses terhadap media misalnya. Dengan demikian, kebijakan-kebijakan publik akan mengarah kepada kelompok-kelompok yang berpengaruh baik secara ekonomis maupun non-ekonomis.
Pendekatan kelompok mempunyai angagapan umum bahwa interaksi perjuangan dan perjuangan kelompok merupakan kenyataan dari kehidupan politik. Dalam pandangan kelompok, individu akan mempunyai arti penting bila ia merupakan paritasan atau wakil dari kelompok tertentu. Dengan melalui kelompok-kelompok lah individu-individu mendapatkan pilihan politik yang mereka inginkan.
Kebijakan publik pada suatu waktu tertentu dalam pandang ini merupakan equilibrium yang dicapai dalam perjuangan berbagai kelompok. Equilibrium ini ditentukan oleh pengaruh relatif dari kelompok-kelompok kepentingan yang diharapkan menghasilkan perubahan-perubahan dalam proses pembuatan kebijakan publik. Besar kecilnya pengaruh-pengaruh kelompok oleh jumlah kekayaan, kekuatan organisasi, akses terhadap pembuatan keputusan dan kohesi dalam kelompok.
Jika para ilmuwan konsisten menggunakan pendekatan kelompok, maka kehidupan politik akan dilihat sebagai perjuangan kelompok-kelompok dalam sistem politik. Para pembuat kebijakan dipandang sebagai pihak yang menanggapi secaa konstan tekanan-tekanan kelompok, tawar-menawar (bargaining), perundingan dan kompromi antara tuntutan-tuntutan yang berbeda dari kelompok-kelompok yang berpengaruh dalam politik.
Dalam memperjuangkan kepentingan mereka masing-masing kelompok-kelompok ini dapat menggunakan strategi pembentukan koalisi dengan kelompok-kelompok lain dan tetap mengamati politik kebijakan. Kelompok-kelompok kepentingan lebih memusatkan pada lembaga legislatif, ketimbang cabang-cabang pemerintah lain dan birokrasi eksekutif mendapt tempat kedua sebagai pilihan untuk mendapatkan akses-akses. Kelompok-kelompok mengetahui dengan baik bahwa anggota-anggota dari lembaga legislatif dapat mencampuri kegiatan-kegiatan birokrasi untuk kepentingan mereka. Sementara itu hubungan-hubungan antara kelompok-kelompok dengan birokrasi semakin erat dan lebih baik. Jika kedua kekuatan itu mempunyai struktur-struktur fungsional yang paralel.
Namun demikian, seperti diungkapkan Anderson pendekatan kelompok memiliki kelemahan, yakni terlalu meremehkan peran bebas dan kreatif yang dilakukan oleh pejabat pemerintah dalam proses pembuatan kebijakan publik. Ini karena terlalu besar pandangannya terhadap peran kelompok-kelompok dalam sistem politik. Oleh karena itu, menganalis kebijakan publik hanya dengan menggunakan pendekatan kelompok dirasa agak kurang memadai tanpa memperhatikan faktor-faktor lain yang mempengaruhi proses kebijakan publik.18
2. Pendekatan proses fungsional
Suatu cara lain untuk mendekati studi pembentukan kebijakan adalah dengan jalan memusatkan perhatian kepada berbagai kegiatan fungsional yang terjadi dalam proses kebijakan. Harold Lasswell mengemukakan tujuh kategori analisis fungsional yang dapat digunakan sebagai dasar bagi pembahasan teori fungsional:19
Inteligensi: Bagaimana informasi tentang masalah-masalah kebijakan mendapat perhatian para pembuat keputusan-keputusan kebijakan dikumpulkan dan diproses.
Rekomendasi: Bagaimana rekomendasi-rekomendasi atau alternatif-alternatif untuk mengatasi suatu masalah tertentu dibuat dan dikembangkan.
Preskripsi: Bagaimana peraturan-peraturan umum dipergunakan dn diterapkan dan oleh siapa.
Permohonan(invocation): Siapa yang menentukan apakah perilaku tertentu bertentangan dengan peraturan-peraturan atau perundang-undangan dan menuntut penggunaan peraturan-peraturan atau undang-undang?
Aplikasi: Bagaimana undang-undang atau peraturan-peraturan sebenarnya diterapkan dan diberlakukan?
Penilaian: Bagaimana pelaksanaan kebijakan, keberhasilan atau kegagalan itu dinilai?
Terminasi: Bagaimana peraturan-peraturan atau undang-undang dengan semula diberhentikan atau dilanjutkan dalam bentuk yang berubah atau dimodifikasi?
Dalam tahap-tahap selanjutnya dari proses kebijakan, para pembuat kebijakan mungkin berusaha menggunakan informasi baru untuk mengubah proses kebijakan semula. Walaupun Lasswell mengatakan bahwa desain ini sebagai proses keputusan, desain ini berada di luar pembuatan keputusan yang berangkat dari pilihan-pilihan khusus dan sebenarnya mencakup “arah tindakan tentang suatu masalah”.
Desain analisis ini mempunyai beberapa keuntungan. Pertama, desain ini tidak terikat pada lembaga-lembaga atau peraturan-peraturan politik khusus. Kedua, desain analisis ini memberi keuntungan untuk analisis komparasi pembentukan kebijakan. Untuk tujuan tersebut, orang bisa saja menyelidiki bagaimana fungsi-fungsi yang berbeda ini dilaksanakan., pengaruh apa dan siapa dalam sistem politik atau unit pemerintahan yang berbeda dilakukan. Namun demikian, desain ini memiliki kelemahan. Penekanannya pada kategori-kategori fungsional mungkin akan menyebabkan pengabaian terhadap politik pembentukan kebijakan dan pengaruh variabel-variabel lingkungan dalam proses pembuatan kebijakan publik. Karena pembentukan kebijakan bukan sekedar proses intelektual.
3. Pendekatan Kelembagaan
Struktur-struktur atau lembaga-lembaga pemerintah telah lama menjadi fokus yang penting dari ilmu politik. Kajian ilmu politik tradisional memfokuskan pada lembaga-lembaga pemerintahan. Kegitan individu-individu dan kelompok-kelompok akan diarahkan kepada lembaga-lembaga pemerintahan dan kebijakan publik secara otoratif.
Oleh karena itu hubungan antara kebijakan publik dan lembaga-lembaga pemerintahan akan dilihat sebagai hubungan yang sangat erat. Suatu kebijakan tidak akan menjadi suatu kebijakan publik sebelum kebijakan itu dilaksanakan dan ditetapkan oleh suatu lembaga pemerintahan. Lembaga-lembaga pemerintah memberi tiga karakteristik yang berbeda terhadap kebijakan publik. Pertama, pemerintah memberi legitimasi kepaa kebijakan-kebijakan. Kebijakan-kebijakan pemerintah dipandang sebagai kewajiban yang sah menurut loyalitas warga negara. Rakyat mungkin memandang kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh korporasi, organisasi profesional asosiasi sipil dan sebagainya sangat penting dan bahkan mengikat. Tetapi hanya kebijakan-kebijakan pemerintah sajalah yang membutuhkan kewajiban-kewajiban yang sah. Kedua, kebijakan-kebijakan pemerintah membutuhkan universalitas. Hanya kebijakan-kebijakan pemerintah yang dapat menjangkau dan menghukum secara sah orang-orang yang melanggar kebijakan tersebut. Sanksi-sanksi yang dijatuhkan oleh kelompok-kelompok dan organisasi-organisasi lain bersifat lebih terbatas dibandingkan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Dengan demikian, keunggulan dari kebijakan yang dikeluarkan oleh pemrintah dapat menuntut loyalitas warganegaranya dan mempunyai kemampuan membuat kebijakan yang mengatur seluruh masyarakat dan memonopoli penggunaan kekuatan secara sah yang mendorong individu-individu dan kelompok membentuk pilihan-pilihan mereka dalam kebijakan.
Sekalipun demikian, pendekatan ini juga memiliki kelemahan, kelemahan yang paling mencolok adalah bahwa pendekatan lembaga dalam ilmu politik tidak mencurahkan perhatian yang banyak pada hubungan antar strukur lembaga-lembaga pemerintah dan substansi kebijakan. Aturan-aturan konstitusi dan undang-undang dijelaskan secara terperinci sebagaimana kantor-kantor pemerintahan dan badan-badan pemerintahan yang banyak sekali jumlahnya, baik di pusat maupun di daerah-daerah. Kebijakan-kebijakan publik seringkali dijelaskan, tetapi jarang dianalisis dan hubungan antara struktur dan kebijakan publik secara luas tidak diselidiki.
Meskipun studi lembaga pada awalnya mempunyai fokus yang sempit dalam ilmu politik, tetapi pendektan struktur tidak berarti merupakan suatu pendekatan yang tidak produktif sama sekali. Lembaga-lembaga pemerintah sebenarnya menerapkan pola-pola perilaku yang dari individu dan kelompok-kelompok. Pola-pola perilaku yang stabil ini mungkin mempengaruhi substansi kebijakan publik. Pola-pola seperti ini barangkali akan memberikan keuntungan kepada kepentingan-kepentingan tertentu dalam masyarakat dan tidak memberikan keuntungan kepada kelompok-kelompok lain.
Dalam pandangan Anderson, pendekatan lembaga tidak merupakan pendekatan yang sempit atau bersifat deskriptif karena seorang ilmuwan dapat saja menanyakan hubungan-hubungan yang terjadi antara aturan-aturan lembaga dan substansi kebijakan publik. Selain itu, seorang ilmuwan juga dapat menyelidiki hubungan-hubungan ini dalam suatu bentuk yang sistematik dan komparatif.
Pandangan seperti Anderson telah mendorong pada anggapan atas dasar logika apriori bahwa dengan perubahan kelembagaan akan turut mempengaruhi perubahan kebijakan. Maka seorang peminat kebijakan publik harus hati-hati dalam menilai dampak struktur pada kebijakan. Namun dengan melakukan analisis kebijakan hanya dengan mendasarkan pada aturan-aturan lembaga akan mempunyai dampak kecil pada kebijakan publik, jika kekuatan lingkungan yang mendasari, seperti misalnya kekuatan-kekuatan sosial, ekonomi dan politik tetap konstan.
4. Pendekatan logical-positivist
Pendekatan logical-positivist, seringkali disebut sebagai pendekatan perilaku (behavioral approach) atau pendekatan keilmuan (scientific approach), menganjurkan penggunaan teori-teori yang berasal dari penelitian deduktif (deductively derived theories), model-model, pengujian hipotesis, data keras, metode komparasi dan analisis statistik yang ketat. “Keilmuan” dalam konteks ini mempunyai makna beberapa hal. Pertama, mempunyai makna mengklasifikasi konsep-konsep kunci yang digunakan dalam analisis kebijakan. Misalnya, konsep-konsep, seperti implementasi kebijakan harus didefinisikan lebih hati-hati. Sebelumnya, implementasi kebijakan didefinisikan sebagai dikotomi ya atau tidak, ketimbang sebagai suatu proses merancang garis-garis pedoman, menyediakan dana, memonitor kinerja dan memperbaiki undang-undang. Kedua, mempunyai makna bekerja dari teori eksplisit tentang perilaku kebijakan, dan menguji teori ini dengan hipotesis-hipotesis. Ketiga, mempunyai makna menggunakan data keras, mengembankan langkah-langkah yang baik terhadap berbagai fenomena dan secara ideal menyelidiki bermacam-macam penjelasan melewati waktu. Pendekatan ini sebenarnya mulai digunakan pada saat terjadi revolusi perilaku (behavioral revolution) dalam ilmu sosial segera setelah Perang Dunia II. Pendekatan ini telah berlangsung selama 50 tahun, dan telah menjadi pendekatan epistomologi keilmuan yang dominan dalam ilmu politik. Namun demikian, pendekatan ini bukan bebas dari kritik, yang berpendapat bahwa pendekatan itu keliru dalam memahami proses kebijakan dengan memperlakukannya sebagai “proyek rasional”20 yaitu, proses kebijakan adalah jauh lebih kompleks, ketimbang perspektif seperti ban berjalan. Dengan demikian, pendekatan ini tidak memberi kemungkinan untuknya sebagai suatu teknik analisis yang sangat canggih. Kritik ini mengambil bentuk dekonstruksi postpositivist terhadap metode-metode perilaku tradisional, dan berpendapat sebagai penggantinya pendekatan yang lebih intiutif atau pendekatan partisipatori terhadap analisis kebijakan publik.
5. Pendekatan ekonometrik
Pendekatan ekonometrik, kadangkala dinamakan pendekatan pilihan publik (the public choice approach) atau pendekatan ekonomi politik, terutama didasarkan pada teori-teori ekonomi politik. Pendekatan ini menjelaskan bahwa sifat alami manusia diasumsikan “rasional” atau dimotivasi oleh pencapaian secara pribadi murni. Pendekatan ini beranggapan bahwa orang-orang mengejar prefensi-prefensi mereka yang berbobot tetap, terlepas hasil-hasil kolektif.21 Secara esensial, pendekatan ini mengintegrasikan wawasan umum tentang riset kebijakan publik dengan metode-metode keuangan publik. Misalnya, diasumsikan bahwa prefensi-prefensinya ke dalam masyarakat luas yang bisa meminta tindakan pemerintah.
Pendekatan ini telah memperoleh respek dalam ilmu kebijakan, sekalipun dikritik sebagai pendekatan yang agak sempit terhadap analisis kebijakan. Secara khusus, ada yang berpendapat bahwa pendekatan-pendekatan ini tidak sama sekali salah, tetapi pendekatan ini dianggap lengkap dengan asumsi-asumsinya tentang sifat manusia dan kekuasaan politik. Secara khusus, manusia adalah altruistik (tidak hanya rasional atau egois), dan dengan demikian, kadangkala dimotivasi untuk melayani kepentingan publik atau kepentingan kolektif.22
6. Pendekatan fenomologik (postpositivist)
Dalam kurun waktu belakangan muncul kekecewaan yang semakin meningkat dengan menggunakan metode-metode keilmuan (termasuk pendekatan positivismelogik dan pendektan ekonometrik) dalam studi kebijakan publik. Para ilmuwan yang menentang studi keilmuan (behavioral) terhadap kebijakan publik lebih menyukai suatu pendekatan di mana intuisi lebih penting daripada pendekatan-pendekatan keilmuan/positivist. Pendektan ini dinamakan pendekatan phenomologik, naturalistik, atau pospositivist. Pada intiny, pendekatan ini berpendapat bahwa para analisis perlu mengadopsi “suatu respek bagi penggunaan intuisi yang sehat secara tertib, yang dirinya dilahirkan dari pengalaman yang tidak bisa direduksi ke model, hipotesis, kuantitatif dan data keras,” secara metodologik, para analisis memperlakukan setiap potongan dari fenomena sosial sebgai suatu peristiwa yang unik, dengan indeks etnografik dan indeks kualitatif menjadi yang paling penting. Pandangan alternatif ini dideskripsikan dengan pemahaman, ketimbang prediksi, dengan hipotesis-hipotesis kerja, ketimbang dengan pengujian hipotesis yang ketat, dan dengan hubungan timbal balik antara peneliti dan obyek studi, ketimbang observasi yang terpisah di pihak para analisis. Untuk mengumpulkan “bukti” pendekatan ini lebih memanfaatkan penggunaan studi-studi kasus secara berkelanjutan, ketimbang menggunakan teknik-teknik analisis yang canggih. Pendekatan ini lebih menekankan kepeduliannya pada keketan keilmuan dengan intuisi dan pembenaman secara menyeluruh dalam informasi yang relavan.
Kritik-kritik terhadap pendekatan postpostivis/naturalistik lebih dikaitkan pada kekurangan kekuatannya dan bergerak menjauhi pendekatan keilmuan yang dianjurkan oleh kelompok behavioralis dan kelompok ekonomi. Seolah-olah pendukung pendekatan postpostivis/naturalist ini mengingkan kembali ke pendekatan behavioral/praperilaku, dimana studi-studi deskriptif, nonscientific, dan intuitive memberikan ciri sebagian besar apa yang dilakukan bagi analisis kebijakan.
7. Pendekatan normatif atau preskriptif
Dalam pendekatan normatif atau preskriptif, analisis perlu mendefinisikan “end state,” dalam arti bahwa preskripsi ini bisa diinginkan dan dicapai. Para pendukung pendekatan ini seringkali menyarankan suatu posisi kebijakan dan menggunakan retrorika dalam suatu cara yang sangat lihai untuk meyakinkan pihak lain tentang manfaat dari posisi mereka. Beberapa contoh dari tipe analisis kebijakan ini bisa dilihat dari hasil studi yang diakukan oleh Henry Kisinger, Jeane Kirkpatrick, atau para ilmuwan politik praktisi lainnya. Pada intinya, mereka menggunakan argumen-argumen yang lihai dan kadangkala secara selektif menggunakan data untuk mengajukan suatu posisi politik dan untuk meyakinkan pihak lain bahwa posisi mereka dalam suatu pilihan kebijakan yang layak. Kadangkala, tipe analisis ini mengarah kepada tuduhan bahwa para analisis kebijakan seringkali menyembunyikan ideology mereka sebagai ilmu.
8. Pendekatan ideologik
Sekalipun tidak semua analisis secara eksplisit mengadopsi pandangan konservatif atau pandangan liberal, mereka nyaris selalu mempunyai suatu pandangan yang tertanam dalam analisis kebijakan mereka. Thomas Sowell menamakan pendekatan ideologi ini “visi” (visions) dan mengidentifikasi dua perspektif yang bersaing.23
Pertama, (the constrained vision) merupakan suatu gambaran manusia egosentrik dengan keterbatasan moral. Oleh karenanya, tantangan moral dan sosial yang fundamental adalah untuk membuat yang terbaik dari kemungkinan-kemungkinan yang ada dalam keterpaksaan/keterbatasan ketimbang menghamburkan nergi dalam suatu upaya sia-sia untuk mengubah sifat manusia. Dengan, logika ini, kemudian, orang seyogyianya mengandalkan pada insentif, ketimbang disposisi, untuk mendapatkan perilaku yang pantas. Prospek dari ganjaran atau ketakutan terhadapa hukuman memberikan insentif untuk memperoleh perilaku yang pantas. Secara fundamental, hal ini menghasilkan suatu pandangan konservatif tentang sifat manusia dan akan mengarah kepada posisi kebijakan yang lebih konservatif, jika orang beranggapan bahwa keterpaksaan utama berasal dari dalam individu , ketimbang pembebanan yang berasal dari lingkungan di luar individu.
Kedua, “visi yang tidak dibatasi” (the unconstrained vision) memberikan suatu pandangan tentang sifat manusia dimana pemahaman dan disposisi manusia adalah mampu untuk memperoleh keuntungan-keuntngan sosial. Menurut perspektif ini, manusia mampu merasakan secara langsung kebutuhan-kebutuhan orang lain lebih penting, ketimbang kebutuhan-kebutuhan merek sendiri, dan karenanya mampu bertindak secara konsisten dan secara adil, bahkan pada saat kepentingan-kepentingan mereka atau keluarga mereka terlibat. Kemudian, pandangan tentang sifat manusia ini, seringkali dikaitkan dengan pandangan liberalbahwa sifat manusia adalah tidak mempunyai keterbatasan. Agaknya, keterbatasan justru dikenakan oleh lingkungan di luar individu.
9. Pendekatan historis/sejarah
Banyak sarjana kebijakan publik makin meningkatkan perhatian mereka kepada evolusi kebijakan melintasi waktu. Peneliti bisa melakukan penelitian tentang kebijakan-kebijakan publik dari perspektif lima puluh tahun atau lebih. Dengan demikian, peneliti bisa melihat pola-pola tertentu dalam bentuk kebijakan publik yang sebelumnya yang tidak dikenali karena analisis menggunakan kerangka waktu yang pendek (misalnya, analisis lintas sectional atau analisis terbatas pada kurun waktu satu dekade atau lebih). Hanya dengan meneliti kebijakan-kebijakan publik dari titik pandang kurun waktu yang panjang analisis bisa memperoleh perspektif yang lebih baik tentang pola-pola yang ada dalam pembuatan kebijakan publik, baik misalnya di negara-negara maju, seperti di Amerika Serikat, maupu di negara-negara berkembang, seperti di Indonesia.
Dalam kasus kebijakan publik di Amerika Serikat misalnya, ada dua perspektif yang bertentangan mengenai sifat pembuatan kebijakan publik. Pertama, perspektif yang menjelaskan bahwa pembuatan kebijakan cenderung mengikuti polsa siklus dimana kecenderungan-kecendurungan yang konservati mengikuti kecenderungan-kecendurunganliberal, kemudian pola ini terulang melintasi waktu. Perspektif ini menyarankan suatu pendekatan reaktif terhadap pembuatan kebijakan yang repetitive, dan dalam beberapa hal, non rasional sepanjang waktu. Kedua, perspektif yang menyarankan suatu penjelasan evolusioner, dimana kebijakan publik merefleksikan pembelajaran kebijakan yang lebih bijak.
Masing-masing teori atau pendekatan lebih memusatkan pada aspek-aspek politik dan pembuatan kebijakan yang berbeda. Oleh karena itu, pendekatan-pendekatan seperti ini tampaknya lebih bermanfaat bagi beberapa tujuan dan beberapa situasi tertentu daripada bagi tujuan-tujuan dan situasi-situasi yang lain. Dengan demikian secara umum orang tidak harus terikat secara ketat atau dogmatis kepada model atau pendekatan teoritik tertentu. Suatu aturan yang baik adalah bersifat elastis dan luwes dan menggunakan teori-teori tersebut sebagai konsep-konsep yang mengorganisir yag nampak paling bermanfaat untuk melakukan analisis kebijakan, serta penjelasan yang memuaskan mengenai kebijakan publik atau tindakan politik tertentu.
Pengertian Korupsi
Menurut Fockema Andreae24 kata korupsi berasal dari bahasa Latin corruptio atau corruptus (Webster Student Dictionary: 1960). Selanjutnya disebutkan bahwa corruptio itu berasal pula dari kata asal corrumpere, suatu kata Latin yang lebih tua.
Dari bahasa Latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris, yaitu Corruption, corrupt; Prancis, yaitu corruption; dan Belanda, yaitu corruptie (korruptie). Kita dapat memberanikan diri bahwa dari bahasa Belanda inilah kata itu turun ke Bahasa Indonesia, yaitu “korupsi”.
Arti harfiah dari kata itu ialah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah.
Kehidupan yang buruk di dalam penjara misalnya, sering disebut sebagai kehidupan yang korup, yang segala macam kejahatan terjadi disana.
Istilah korupsi yang telah diterima dalam perbendaharaan kata di Indonesia, talah disimpulkan oleh Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia: “Korupsi ialah perbuatan yang buruk sepeti penggelapan uang, penrimaan uang sogok dan sebagainya.”25
Di Malaysia terdapat juga peraturan anti korupsi. Disitu tidak dipakai kata korupsi melainkan dipakai istilah resuah yang tentulah berbahasa Arab (riswah), yang menurut kamus Arab-Indonesia artinya sama dengan korupsi.26
Dengan pengertian korupsi secara harfiah itu dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa sesungguhnya korupsi itu sebagai suatu istilah yang sangat luas artinya.
Sekarang di Indonesia jika orang berbicara mengenai korupsi, pasti yang dipikirkan hanya perbuatan jahat menyangkut keuangan negara dan suap. Pendekatan yang dapat dilakukan terhadap masalah korupsi bermacam ragamnya, dan artinya tetap sesuai walaupun kita mendekati masalah itu, dari berbagai aspek.
Pendekatan Sosiologis misalnya, seperti halnya yang dilakukan oleh Syeid Hussein Alatas dalam bukunya The Sociology of Corruption, akan lain artinya kalau kita melakukan pendekatan normatif; begitu pula dengan politik dan ekonomi. Misalnya Alatas memasukan “nepotisme” dalam kelompok korupsi, dalam klasifikasinya (memasang keluarga atau teman pada posisi pemerintahan tanpa memenuhi persyaratan untuk itu), yang tentunya hal seperti itu sukar dicari normanya dalam hukum pidana.
Konvensi PBB mengenai pemberantasan Korupsi (United Nations Convention Against Corruption) yang ditandatangani di Merida sesuai dengan resolusi 57/169 yang diajukan ke Majelis Umum sidang ke-59, pada Pasal 2 menghilangkan defenisi korupsi yang semula ada dalam rancangan.
Mubyarto mengutip pendapat Smith27 sebagai berikut :
“ Secara keseluruhan korupsi di Indonesia muncul lebih sering sebagai masalah politik daripada ekonomi. Ia menyentuh keabsahan (legitimasi) pemerintah dimata generasi muda, kaum elite terdidik dan pegawai pada umumnya….korupsi mengurangi dukungan pada pemerintah dari kelompok elite di tingkat provinsi dan kabupaten”.28
Lebih tegas lagi apa yang dikemukakan oleh Gunnar Myrdal29 sebagai berikut:
“Masalah itu (korupsi), merupakan suatu yang penting bagi pemerintah di Asia Selatan karena melakukan penyuapan dan ketidakjujuran membuka jalan membongkar korupsi dan tindakan-tindakan penghukuman terhadap pelanggar. Pemberantasan korupsi biasanya dijadikan pembenar utama terhadap kup militer.
Begitu pula yang dikatakan oleh Huntington berikut ini.
“akan tetapi, tidak berarti bahwa adanya pola korupsi di tingkat atas ini mengganggu stabilitas politik, asal saja jalan-jalan untuk mobilitas ke atas melalui partai politik atau birokrasi tetap terbuka. Namun jika pemain-pemain plitik dari generasi muda melihat bahwa mereka akan dikesampingkan, tidak diberi kesempatan untuk menikmati hasil-hasil yang telah dicapai oleh generasi tua atau jika kolonel-kolonel dalam angkatan dalam angkatan perang melihat tidak ada harapan untuk naik pangkat dan kesempatan yang ada hanya bagi para jenderal, sistem tersebut akan mudah digoncangkan oleh korupsi politik dan stabilitas politik, kedua-keduanya tergantung pada mobilitas ke atas.”30
Tentang titik tolak analisis ekonomi (pasar) mengenai korupsi, Mubyarto,31 mengutip defenisi Clive Gray (“Civil Service Compensation in Indonesia;”BIES, Vol. XV, No.1, March 1979), dan memberi komentar:
“Dengan defenisi demikian, sogokan, uang siluman atau pungli lain merupakan “harga pasar” yang harus dibayar oleh konsumen yang ingin sekali “membeli” barang tertentu. Dan barang tertentu yang akan dibeli itu berupa keputusan, izin, atau secara lebih tegas, tanda tangan. Secara teoritis, harga pasar tanda tangan akan naik turun sesuai dengan naik turunnya permintaan dan penawaran, dan setiap kali akan terjadi “harga keseimbangan.” Karena dalam model ekonomi pasar ada juga pengertian “harga diskriminasi,” dalam pasaran tanda tangan pejabat juga ada kemungkinan perbedaan harga bagi golongan “ekonomi kuat” dan “golongan ekonomi lemah”
Lain halnya kalau kita meninjau masalahnya dari segi norma (pidana) karena bagaimanapun juga, penuapan merupakan suatu delik (pasal 209, 210, 418, 419, dan 420 KUHP yang ditarik menjadi delik korupsi menurut pasal 5, 6, 7, 8, 9, dan 12 dari butir a sampai dengan Undang-Undang No.20 Tahun 2001 yang mengubah Unddang-Undanga Tindak Pidana Korupsi No. 31 Tahun 1999). Disitu diatur bahwa pasal-pasal KUHP tersebut langsung diangkat dengan rumusannya dengan sanksi sendiri.
Korupsi secara yuridis dilukiskan dengan berbagai variasi di berbagai negara, namun masih ada titik persamaannya secara umum. Malaysia misalnya, memandang penyuapan sebagai korupsi yang sebenarnya, ditandai dengan nama komisinya “Badan Pencegah Resuah” (BPR) yang resuah berasal dari bahasa Arab riswah yang artinya suap.
Lukisan Sebab dan Akibat dari Korupsi
Untuk memberantas kejahatan harus dicari sebabnya dan menghapuskannya.32 Dengan demikian kejahatan seperti korupsi tidak akan terberantas atau berkurang kecuali kalau dapat menemukan sebabnya, kemudian sebab itu dihapuskan atau dikurangi.
Jika kita menilik isi undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi tersebut dan kita menyadur defenisis Pompe tentang hukum pidana, maka diperoleh rumusan sebagai berikut.
“Keseluruhan dari peraturan-peraturan hukum yang menentukan untuk kelakuan-kelakuan mana sajakah (sebagai perbuatan korupsi), sepatutnya diterapkan pidana dalam bentuk-bentuk apa sajakah seharusnya pidana itu.”
Dalam Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi itu terdapat peraturan tentang usaha preventif langsung tentang perbuatan korupsi. Peraturan pidana dalam undang-undang tersebut hanya merupakan preventif secara tidak langsung, yaitu agar orang-orang lain tidak atau takut melakukan perbuatan korupsi atau terpidana jera mengulangi perbuatan korupsinya dikemudian hari. Yang jelas, korupsinya sendiri telah berlangsung dan tidak mungkin diperbaiki lagi.
Tentang kausa atau sebab orang melakukan perbuatan korupsi di Indonesia, misalnya sebgai berikut.
Kurangnya gaji atau pendaptan pegawai negeri dibandingkan dengan kebutuhan yang main hari makin meningkat.
Soedarso merumuskan uraiannya sebagai berikut
“banyak faktor yang bekerja dan saling mempengaruhi satu sama lain sampai menghasilkan keadaan yang kita hadapi. Tindakan yang dapat dilakukan hanyalah mengemukakan faktor-faktor yang paling berperan. Causalites redeneringen harus sangat berhati-hati dan menjauhkan dari sifat gegabah. Buruknya ekonomi , belum tentu dengan sendirinya menghasilkan suatu wabah korupsi dikalangan pejabat kalau tidak ada fakto-faktor lain yang bekerja. Kurangnya gaji bukanlah pula faktor yang menentukan. Orang-orang yang berkecukupan banyak yang melakukan korupsi. Prosedur yang berliku-liku bukanlah pula hal yang perlu ditonjolkan karena korupsi juga meluas dibagian-bagian yang sederhana.”33
Patut diingat kurangnya gaji pegawai negeri jika dibandingkan dengan kebutuhannya, semakin gawat manakala diperhatikan kebutuhan yang semakin meningkat sebagai akibat kemajuan teknologi. Semua itu menambah beban kebutuhan pegawai negeri. Beban yang berat itu masih ditambah dengan sistem mencicil, kartu kredit yang yang memdahkan pengambilan barang tersebut, tetapi mengakibatkan pemotongan gaji sampai kadang-kadang pegawai yang bersangkutan hanya menerima amplop kososng setiap bulan.
Latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia
Soedarso merujuk pada
Critical Legal Studies (CLS) dan Hukum Progresif Sebagai Alternatif Dalam Reformasi Hukum Nasional
Kritik-kritik keras terhadap positivisme berlangsung dalam gelombang pasang dan surut. Setelah sekitar 30 tahun terhitung sejak 1920-an kritik-kritik itu mengguncangkan kemapanan postivisme, khususnya Amerika, kemudian mengalami surut, melemah bahkan hampir-hampir tak terdengar lagi. Namun, sikap kritis dan kerinduan pada kebenaran tampaknya tidak akan pernah hanyut dan lenyap oleh gelombang perubahan keadaan. Sekitar tahun 1970-an, pasca perang Vietnam, terlihat sedemikian banyak kebijakan pemerintah Amerika yang ternyata tidak selaras dengan realitas. Bagaikan membangunkan harimau dari tidurnya, hal demikian ternyata membangkitkan kembali sikap kritis para ahli hukum untuk mengkritisi kebijakan yang cenderung menuju kembali ke paradigma positivisme. Gerakan baru ini bergerak lebih keras dan lebih kritis daripada para pendahulunya (the Sociological Jurisprudence maupun the Legal Realism). Gerakan ini dikenal dengan nama The Critical Legal Studies Movement (dikenal dengan sebutan CLS).
Pada awalnya, yaitu sepanjang belahan pertama dasawarsa 1970-an, gerakan CLS barulah merupakan suatu seri serangan awal yang penuh kritik pada praktik dan ajaran klasik kaum positivis yang cenderung mengedepankan formalitas hukum tetapi mengesampingkan arti penting substansi hukum. Pada tahap berikutnya, yaitu sepanjang belahan kedua dasawarsa 1970-an, gerakan CLS sudah mulai beprakarsa mengkritik kasus-kasus lewat berbagai analisis, yang hasilnya pada tahap berikutnya telah di integrasikan untuk menghasilkan konsep, teori dan metode baru dalam studi ilmu hukum.
Bagaimana pandangan dan pemikiran para eksponen CLS terhdap perkembangan ilmu hukum? Dalam garis besarnya dapat dideskripsikan sebagai berikut;
Pertama, mereka tidak percaya terhadap paradigma kaum postivis-formalis yang mengidealkan hukum sebagai suatu otoritas yang mampu bertindak netral. Idealisasi hukum sebagai hasil positivisasi norma-norma yang telah disepakati, tidaklah dapat diterima begitu saja. Perlu dipertanyakan apakah hukum formal (hukum positif) benar-benar bersifat netral dan dapat ditegakkan oleh lembaga yudisial yang diasumsikan sebagai institusi independen?. Dalam pengamatan maupun pengalaman mereka kenetralan hukum positif hanyalah mitos belaka, dan bukan realitas, alias masyarakat dihadapkan pada kebohongan publik.
Kedua, dalam pengalaman dan pengamatan mereka pula bahwa sesungguhnya formalisasi hukum tidak lain merupakan rasionalisasi kepentingan para elit yang berkuasa, dan dengan demikian hukum positif tidak lain pula adalah legitimasi dominasi kaum elite terhadap rakyat. Pelegitimasian itu antara lain dilakukan melalui proses reifikasi dan hegemoni. Dalam proses reifikasi itu rakyat digiring, dibius, dan dijebak untuk percaya, taat dan tunduk pada prinsip yang dikenal dengan doktrin “supremasi hukum”. Keberhasilan meyakinkan kebenaran doktrin supremasi hukum pada tataran konsep, teori dan lebih lanjut diikuti dengan praktik-praktik hukum menghasilkan legitimasi kuat bagi para elite dalam mempertahankan dan memaksakan hukum positif kepada siapapun yang dikehendakinya. Sementara itu melalui proses hegemoni, ajaran-ajaran hukum didayagunakan untuk membentuk dan menguatkan posisi rezim kekuasaan yang sesungguhnya otokratis, namun secara yuridis formal kekuasaan itu sah karena telah mendapatkan persetujuan badan-badan pemerintahan atau negara yang mengatas-namakan dirinya sebagai perwakilan rakyat.
Ketiga, dalam pengalaman dan pengamatan mereka pula bahwa batas-batas pemisah antara hukum dan politik sebenarnya sudah tidak pernah ada. Hukum adalah produk politik. Dalam setiap pembuatan, penyelenggaran dan penegakan hukum, bukan murni untuk mengejar dan menegakan keadilan melainkan tersembunyi agenda-agenda politik dari para aktor atau partai politik yang dominan berkuasa. Para yuris, lawyers dan mereka yang dipandang ahli hukum, telah dibayar mahal dengan uang ataupun diberi kontribusi jabatan politis oleh para politisi asalkan mereka mau bekerja keras dan berhasil mengakomodasi kepentingan-kepentingan politisnya sehingga resmi masuk sebagai bagian dari hukum positif. Kerja para “tukang-tukang hukum” tersebut tidak berbeda dengan robot-robot yang mau bergerak kemana saja sesuai dengan perintah para aktor politik yang berada dibelakangnya. Moralitas tukang-tukang hukum tersebut teramat rendah yaitu sebatas moralitas finansial. Mereka bekerja, menjalankan hukum melalui lembaga-lembaga hukum, bukan untuk menegakan keadilan melainkan hanya mengejar kebutuhan materiil-duniawi serta-merta dengan tega mengobjekkan dan mengorbankan rakyat ke dalam skenario hukum positif.
Dengan demikian pemikiran-pemikiran kritis diatas, CLS bertekad terus melakukan perlawanan terhadap para positivis-formalis. Pertanyaan kita adalah apa agenda CLS ke depan dalam membangun ilmu hukum?
Mengutip pernyataan eksponen termuka CLS bernama Roberto Mangaibera Unger (1987) bahwa arah kerja CLS bukanlah untuk memporak-porandakan sistem hukum nasional melainkan melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi terhadap praktik-praktik hukum yang cenderung mementingkan rasionalitas formal, dengan cara memangkasi “cabang-cabang praktik” yang kurang menguntungkan.34 Dekonstruksi itu berlangsung dengan dua metode yaitu: (1)”pembalikan hierarki” norma hukum dan (2) penafsiran ulang maksud yang terkandung dalam norma hukum.
Mengapa harus ada pembalikan hierarki norma hukum? Sebab para eksponen CLS yakin bahwa setiap norma hukum selalu mengoposisikan dua nilai kepentingan yang berbeda atau berlawanan, dimana istilah yang disebut dahulu selalu dipandang lebih utama daripada istilah kedua. Sebagai contoh, ketika dalam hukum perkawinan disebut laki-laki dan perempuan, maka hak-hak suami akan lebih besar daripada hak istri. Norma hukum perkawinan seperti itu harus didekonstruksi melalui pembalikan hierarki dengan mendahulukan perempuan daripada laki-laki. Dalam proses dekonstruksi itu hak dan kepentingan para pihak dikonstruksi ulang sebagai dua entitas lain. Feminisme Jurisprudence kiranya dapat digolongkan sebagai aliran terkemuka dalam penggunaan metode pembalikan hierarki norma hukum itu.
Penafsiran ulang isi kandungan sebuah norma hukum menurut CLS perlu dilakukan mengingat bahwa suatu teks undang-undang atau teks amar putusan hakim begitu selesai dirumuskan sebenarnya terbebas dari maksud perumusannya yang semula. Menurut eksponen CLS, makna setiap teks pada hakikatnya nisbi sebab makna tersebut selalu terkait secara konstektual dengan perubahan zaman dan lingkungannya. Oleh karena itu kita akan dapatkan setiap generasi berusaha mengaktualisasikan makna setiap teks, dan pemaknaan mereka itu tak mungkin terhalangi oleh perumus aslinya. Prinsipnya, penafsiran ulang norma hukum harus didasarkan pada the free play of the text.
Menurut Unger (1987) bahwa tatanan kehidupan kedepan yang ingin diwujudkan dengan dekonstruksi dan rekonstruksi praktik-praktik hukum adalah empowered democracy dan berkembangnya transformative politics. Bertolak dari asumsi bahwa pada dasarnya struktur kekuasaan dalam masyarakat itu merupakan suatu bangunan hierarkis yang amat kaku dan tak mudah responsif pada tuntutan publik, maka struktur demikian perlu didekonstruksi menjadi struktur yang demokratis, responsif dan akuntabel. Untuk mencapai tujuan itu maka gerakan yang dikembangkan lebih lanjut adalah apa yang dinamakan transformatif, yaitu aktifitas terencana yang dilakukan atas dasar “perlindungan hak-hak individu dan kebebasan melakukan destabilisasi terhadap struktur atau sistem hukum yang tidak demokratis”.
Masih terngiang di telinga kita semua ketika Jurgen Habermas merasa gelisah dengan mulai matinya ilmu-ilmu sosial. Mungkin, jika Habermas melihat lagi kenyataan yang terjadi pada teori-teori sosial khususnya teori-teori kritis saat ini, ia akan lebih jauh bersedih. Penderitaan kritisnya ilmu-ilmu kritis diperparah dengan metode pendidikan yang bersifat reproduktif bagi posisi status quo. Artinya, kritisnya teori kritis punya hubungan dengan paradigma yang melatar belakangi metode pendidikan.
Giroux dan Aronowitz (1985), mengkategorisasikan pendekatan pendidikan menjadi tiga aliran dan menganalisa bagaimana paradigma pendidikan tersebut berimplikasi pada sub sistem pendidikan lainnya. Pertama, paradigma konservatif. Bagi kaum konservatif, ketidaksederajatan masyarakat merupakan suatu keharusan alami, tidak dapat dihindarkan bahkan merupakan kepastian sejarah dengan atas nama takdir. Oleh karenanya, sekolah merupakan upaya untuk melanggengkan relasi ketidaksederajatan agar ada harmoni dan menjauhkannya dari konflik dan kontradiksi. Dan akhirnya, pendidikan ini memberikan apa yang dinamakan kesadaran magis.
Kedua, paradigma kaum liberal. Paradigma ini berangkat dari keyakinan bahwa memang ada masalah di masyarakat, tetapi bagi mereka, sama sekali tidak ada kaitan dengan dunia pendidikan. Bagi mereka masalah masyarakat dan pendidikan berjalan pada ranah yang berbeda. Dan menurut mereka, pendidikan adalah media untuk mensosialisasikan dan mereproduksi nilai-nilai tata susila keyakinan. Paradigma ini berasumsi bahwa yang sesungguhnya paling bermasalah adalah manusia. Manusia menjadi bermasalah karena tidak mempunyai keinginan untuk berprestasi yang tinggi. Makanya, dalam naungan paradigma ini berkembanglah apa yang dinamakan Achievment Motivation Training yang digagas oleh David McClelland. Sehingga, sekolah pada hakikatnya adalah untuk memperbaiki manusia menjadi obyek bagi pendidikan, sehingga yang tersaji adalah kesadaran naïf.
Ketiga, paradigma kritis. Paradigma kritis ini menghendaki perubahan struktur secara fundamental dalam politik ekonomi masyarakat dimana pendidikan itu ada. Bagi mereka, kelas dan diskrimansi gender dalam masyarakat tercermin pula dalam pendidikan. Maka dalam perspektif kritis, urusan pendidikan adalah melakukas refleksi kritis terhadap “the dominant ideology” kearah transformasi sosial. Tugas utama pendidikan adalah menciptakan ruang agar sikap kritis terhadap sistem dan struktur ketidakadilan, serta melakukan dekonstruksi dan advokasi menuju sistem sosial yang lebih adil. Oleh karenanya, sekolah adalah tempat untuk memanusiakan kembali manusia yang mengalami dehumanisasi karena sistem dan struktur yang tidak adil dengan harapan menciptakan kesadaran kritis.
Nah, pendidikan yang saat ini ada selalu menginjeksikan kesadaran yang beroperasi pada dua hal, yakni kesadaran magis dan naïf. Karenanya, tugas pertama dari upaya penyelamatan teori-teori kritis adalah menyusun pola pendidikan kritis.
Mengenang Kembali Teori-Teori Kritis
Didalam dunia hukum, Critical Legal Studies (CLS) adalah penyejuk bagi dahaga para ilmuwan hukum yang gerah dengan merajalelanya positivisme hukum. Positivisme hukum berangkat dari penggunaan paradigma hukum liberal yang secara ideologis meyakini bahwa hukum itu dapat dikelola dan dikonstruksi dalam suatu institusi yang normal dan terlepas sama sekali dari ilmu politik. Pandangan ini berasal dari kaum positivistik yang normologis. CLS berangkat dari pemikiran sederhana yang kemudian kritis terhadap realitas supremasi hukum yang mandeg hanya pada prinsip legalitas.
Teori kritis yang melatarinya CLS adalah tersebar pada beberapa analisis. Yakni tradisi pemikiran Marxis, Strukturalisme dan Mazhab Frankfurt. Namun jika dikerucutkan maka ketiga tradisi ini lahir dari logika Immanuel Kant dan Hegel yang kemudian dikritisi secara baik oleh Jurgen Habermas. Tiga tokoh inilah yang menjadi ‘dewa-dewa’ utama dalam pemikiran Mazhab Frankfurt yang terkenal dengan tradisi kritis terhadap bidang kehidupan masyarakat modern, seperti seni, ilmu pengetahuan, ekonomi, politik, kebudayaan dan juga pemikiran-pemikiran hukum. Selain itu, dalam hubungan tertentu, Mazhab Franfurt juga sesungguhnya merupakan pemikiran kritis terhadap logika dan pemikiran Karl Marx, karenanya sering dikatakan bahwa Mazhab Frankfurt adalah kelanjutan pemikiran Marx di Barat yang kemudian banyak dikenal sebagai Marxisme Kritis atau Neo Marxisme.
Secara sederhana, sejarah menuliskan bahwa Immanuel Kant adalah pemicu awal pemikiran kritis ini yang kemudian dikritisi oleh Hegel. Kedua pemikiran ini pun kemudian juga dikritisi oleh Jurgen Habermas. Sesungguhnya, kata kritis sudah mulai dipakai pada masa Renaissance (1350-1600) yang bertradisi intuk melawan kungkungan penafsiran Gereja. Pasca Renaissance (masa Aukflarung di Abad ke-17 dan 18) dan satu abad setelahnya, lahirlah beberapa filsuf yang dipandang sebagai filsuf kritis seperti Kant, Hegel dan Marx.
Kekritisan Kant diakui ketika dia tiba-tiba membalikkan kondisi pemikiran yang sedang laku saat itu dengan mempertanyakan the conditions of possibility dari pengetahuan itu sendiri. Ia menyusun logika-logika rasio kritisme yang pada saat itu menjadi lawan terhadap dogmatisme. Hegel kemudian datang dengan kritik yang berbeda dari Kant. Rasio yang diusung oleh Kant, dikritisi oleh Hegel bahwa rasio semacam itu tidak mengenal prinsip-prinsip waktu dan netralitas, sehingga ahistoris. Inilah yang kemudian melatari perkembangan pemikiran Hegel yang dialektis secara historis. Walau menganalisis Kant, namun Hegel-lah yang pertama kali sampai pada artian kritis yang sesungguhnya yakni kritis adalah refleksi atau refleksi diri atas rintangan-rintangan, tekanan-tekanan, kontradiksi- kontradiksi yang menghambat proses pembentukan diri rasio dalam sejarah. Simplifikasinya, kritis adalah negasi atau dialektis.
Tidak hanya sampai disini, Marx kemudian datang dengan mengkritisi lagi konsep Hegel yang menempatkan konsep kritis dalam artian idealisme. Bagi Marx, hal itu seharusnya bersifat materialisme. Artinya konsep ‘melangit’ gaya Hegel kemudian di-‘bumi’-kan oleh Marx dengan menempatkannya dalan konteks sejarah yang kongkret dari masyarakat yang nyata. Kritik dalam konteks materialisme sejarah ini berarti praxis revolusioner yang dilakukan oleh kaum proletariat atau perjuangan kelas. Karenanya, kritis berarti usaha-usaha mengemansipasi diri dari penindasan dan alienisasi yang dihasilkan oleh hubungan kekuasaan didalam masyarakat.
Pengkajian Marx yang dilakukan oleh Mazhab Frankfurt menjadi neo-Marx. Walau sebagai neo-Marx, tetapi aliran Mazhab Frankfurt tetap tergolek tak berdaya dihadapan logika-logika Kant, Hegel dan Marz. Dalam istilah Habermas, Mazhab Frankfurt telah terjebak dalam logika buntu terhadap upaya melakukan perubahan struktur secara radikal, sehingga pilihan yang terjadi hanyalah bergelayut antara ‘jalan kekerasan’ atau menunggu ‘gerhana matahari’. Menurut Habermas, perubahan harus dimulai dengan dialog-dialog emansipatoris yang melalui jalan komunikasi dan bukan dominasi.
Sedikit banyak, ide-ide kritis inilah yang masuk ke Amerika dan mempengaruhi pola pemikiran CLS. Ditambah dengan pemikiran strukturalisme yang memiliki ciri khusus totalitas (totality), transformative (transformative) dan mengatur diri sendiri (self regulating), maka setidaknya ada 3 aliran kuat dalam CLS di Amerika, yakni pertama adalah arus pemikiran yang diwakili Roberto M. Unger yang mencoba terus mengintegrasikan dua paradigma yang bersaing antara paradigma konflik dan konsensus. Kedua, adalah David Kaiyrs yang sangat Marxian dalam artian mengkritisi tradisi hukum liberal yang hanya dianggap sebagai pelayan kaum kapitalis. Ketiga adalah Eklektis yang membaurkan prinsip-prinsip strukturalisme dan neo-Marxis.35
Variasi mazhab CLS di Amerika itu sendiri telah menjadi contoh betapa sulitnya menemukan metodologi yang pas untuk satu tujuan utama yakni proyek perubahan. Sehingga tawaran untuk kohesi ketiga kemungkinan itu masihlah pada tataran kombinasi dari metode-metode tersebut.
Pendidikan Hukum Kritis dan Penalaran Teori Kritis di Indonesia
Pertanyaannya adalah bagaimana di Indonesia? Sesungguhnya paradigma hukum kritis bisa ditinjau pada sisi bagaimana kritis pada hukum yang ada sekaligus bagaimana memperbaiki hukum yang sedang kritis.
Seharusnya Indonesia bisa memulai dengan hal-hal yang paling sederhana yakni memulainya dari perbaikan mutu pendidikan. Pendidikan masih merupakan masalah yang krusial bagi bangsa ini. Tidak tanggung-tanggung, mulai dari distingsi antara antara peraturan yang mengharuskan alokasi anggaran 20% terhadap sektor pendidikan dengan pelaksanaan yang hanya berkisar 3%-8%, hingga mutu keluaran sekolah yang terus makin dianggap buruk. Tawuran, kekurangan guru, plagiat dan berbagai masalah lain yang menghantui dunia pendidikan masih menjadi momok besar yang hingga saat ini belum diselesaikan. Memang menjadi pertanyaan adalah bentukan paradigma pendidikan yang dibangun oleh negara terhadap sektor ini seperti apa.
Memang harus diakui bahwa sangat sulit untuk tidak mengatakan bahwa pendidikan tidak lepas dari fantasi panjang kaum berkuasa dengan segala pola dan budaya politik. Mereka adalah kaum yang menentukan mau dibawa kemana negeri ini, termasuk mau dibawa kemana sumber daya manusia dengan sistem pendidikannya. Tapi malangnya, pendidikan bagi kaum ini adalah sejalan dengan teori reproduksi yang digunakan untuk mempertahankan, melanggengkan dan melegitimasi pola lama hingga status quo terus terjaga. Berpikir kritis akhirnya disamakan dengan dosa besar dan akhirnya diancam dengan berbagai hukuman.
Pendidikan, harus mampu membawa orang untuk berfikir kritis. Meminjam cara Thomas Kuhn yang juga diteorikan oleh Derrida yakni mulai dari dekonstruksi. Beberapa istilah dalam teori sosial yang sudah terkena imbas hegemonis, harus dikeluarkan lagi lalu diganti dengan penjelasan yang baru.
Berbagai stereotip pada Marxisme, Anarkisme, dan berbagai isme-isme lainnya harus dipurifikasi.
Ketika mekanisme pendidikan telah mampu mengadopsi sistem kritis ini, barulah kita beranjak pada pendidikan hukum kritis. Hukum kritis yang bisa menganalisis ranah kenyataan –mengutip Max Weber- banwa produk-produk hukum yang dikeluarkan oleh rejim pada akhirnya merupakan tarik ulur antar kepentingan politik yang bermain di lapangan kekuasaan, sehingga tidak heran jika peraturan-peraturan pendidikan kita memenuhi dua kemungkinan yang juga kelihatan sama buruknya. Pertama, bersifat elitis sehingga jauh dari kepentingan rakyat atau; yang kedua, bersifat agak populis tetapi dengan pelaksanaan setengah hati.
Hukum kritis atau apapun namanya kelak, harus bisa melihat kenyataan ini, baru kemudian bertindak untuk perubahannya.
1 Howlett dan Rames 1995, halaman 1-12
2 Lihat Charles O. Jones (1984). An Introducion to the Study of Public Policy. Third Edition. Monterey Books/Cole Publishing Company, hlm.25.
3 Anderson, op.cit, hlm.4.
4 Robert Eyestone (1971). The Threads of Policy: A Study in Policy Leadership. Indianapolis: Bobbs-Merril, hlm. 18.
5 Thomas R. Dye (1975). Understanding Public Policy. Second Edition.Englewood Cliff, N. J: Prentice-Hall, hlm. 1.
6 Richard Rose (ed.) (1969). Policy Making in Great Britain. London: MacMillan, hlm. 79.
7 Anderson, op. cit., hlm. 4.
8 Amir Santoso, op. cit., hlm 4-5.
9 Ibid
10 Jeffrey L. Presman dan Aaron Wildavsky, dalam Amir Santoso
11 Davis Easton, A Systems Analysis of Political Life, dalam Anderson, op. cit., hlm. 3.
12 Anderson, op. cit., hlm. 3-4
13 Ibid., hal. 4-5.
14 Fenna 1998, halaman 62; Corbett, halaman 59-60; Yuwono 2001, halaman 17-22
15 Miliband dalam Fenna 1998, halaman 68
16 Fenna 1998, halaman 75-77
17 David Truman (1951). The Government Process. New York: Konpf.
18 Anderson, op. cit.,hlm. 18.
19 Harold Laswell (1956). The Decision Process. Colledge Park, Md: Bureau of Governmental Research, University of Maryland.
20 Deborah A. Stone (1988). Policy Paradox and Political Reason. New York: Harper Collins.
21 Trudi C. Miller (1990). “Normative Political Science”. Policy Studies Review 9 (Winter), hlm. 232-246
22 Ibid.
23 Thomas Sowell (1987). A Conflict of Visions. New York: William Morrow
24 Kamus Hukum, Fockema Andreae. (Bandung: Bina Cipta, 1983)
25 Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, 1976.
26 Abd. Bin Nuh et. al: tanpa tahun. Jakarta.
27 Theodore M. Smith, “Corruption Tradition and Charge.” Indonesia (cornell University, No. 11 April 1971).
28 Mubyarto, Ilmu Ekonomi, Ilmu Sosial dan Keadilan (Jakarta: Yayasan Agro Ekonomika, 1980),hlm. 60.
29 Gunnar Myrdal, Asian Drama, an Inquiry into the Property of nations (Penguin Books Austrlia Ltd., 1977),hlm. 166.
30 Samuel P. Huntington.”Modernisasi dan Korupsi,” karangan dalam buku Mochtar Lubis dan James . Scott, Bunga Rampai Karangan-karangan Mengenai Etika Pegawai Negeri (Jakarta: Bhatara Karya Aksara, 1977),hlm. 133.
31 Ubyarto, op. cit.,hlm. 65.
32 W. A. Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi, Terjemahan R. A. Koesnoen (Jakarta: PT. Pembangunan, 1955), hlm. 46.
33 B. Soedarso, Korupsi di Indonesia (Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1969), hlm. 10-11.
34 Prof. Soetandyo Wignjosoebroto, MPA. 2002
35 Lihat: Ifdhal Kasim, Mempertimbangkan CLS, Jurnal Wacana VI/2000, Insist Press, Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar