Minggu, 30 Desember 2007

BAB IV

BAB IV

PEMBAHASAN


Mal-Administrasi

Mal Administrasi adalah suatu praktek yang menyimpang dari etika administrasi atau suatu praktek administrasi yang menjauhkan dari pencapaian tujuan administrasi (Widodo Joko, 2001).

Menurut Nigro & Nigro (dalam Muhadjir Darwin,1999), terdapat 8 bentuk Mal-Administrasi yaitu:

  1. Ketidakjujuran (dishonesty), yaitu suatu tindakan administrasi yang tidak jujur. Dikatakan tidak jujur karena tindakan tersebut berbahaya dan menimbulkan ketidakpercayaan (distrust) dan dalam beberapa contoh (mengambil uang barang publik untuk kepentingan sendiri, menerima uang suap dari pelanggan, menarik pungutan liar, dsb) dapat merugikan kepentingan organisasi atau masyarakat.

  2. Perilaku yang buruk (unethical behaviour), misalnya seorang pegawai administrator publik melakukan tindakan dalam batas-batas yang diperkenankan hukum tetapi tindakan tersebut dapat digolongkan sebagai tidak etis sehingga tidak dapat dituntut secara hukum, misalnya: seorang pimpinan minta agar meluluskan seorang familinya dalam seleksi pegawai.

  3. Mengabaikan hukum (disregard of the law), yaitu pegawai administrator publik yang mengabaikan hukum atau membuat tafsiran hukum yang menguntungkan kepentingannya. Misalnya: seorang pegawai kantor memakai mobil dinas untuk kepentingan keluarga padahal tahu secara hukum hanya diperuntukkan kepentingan dinas.

  4. Faforitisme dalam menafsirkan hukum, yaitu pejabat atau pegawai di suatu instansi tetap mengikuti hukum yang berlaku tetapi hukum tersebut ditafsirkan untuk menguntungkan kepentingan tertentu.

  5. Perlakukan yang tidak adil terhadap pegawai, yaitu seorang pegawai yang diperlakukan secara tidak adil, misalnya seorang pimpinan yang menghambat karirnya karena merasa tersaing.

  6. Inefisiensi bruto (gross ineffienssy), yaitu apapun bagus maksudnya jika suatu instansi tidak mampu melakukan tugasnya secara memadai maka para adminsitrator tersebut dapat dikatakan gagal. Misalnya: pemborosan dana secara berlebihan.

  7. Menutup-nutupi kesalahan, yaitu seorang pegawai yang menutup-nutupi kesalahan sendiri atau kesalahan bawahannya, menola diperiksa atau dikontrol legislatif, melarang pers meliput kesalahannya atau instansinta semua itu dilakukan untuk melindungi diri atau posisi tertentu.

  8. Gagal menunjukkan inisiatif, yaitu seorang pegawai yang gagal membuat keputusan yang positif atau menggunakan diskresi (keleluasaan) yang diberikan hukum kepadanya.

Salah satu bentuk dari Mal-Administrasi adalah KORUPSI, yaitu bentuk perbuatan menggunakan barang publik, bisa berupa uang dan jasa, untuk kepentingan memperkaya diri dan bukan untuk kepentingan publik. Korupsi dilihat dari proses terjadinya perilaku korupsi dapat dibedakan dalam tiga bentuk:

  1. Graft, yaitu korupsi yang bersifat internal (korupsi yang dilakukan tanpa melibatkan pihak ketiga: menggunakan atau mengambil barang kantor, uang kantor, jabatan kantor untuk kepentingan sendiri). Korupsi ini terjadi karena mereka mempunyai kedudukan dan jabatan di Kantor tersebut. Dengan wewenangnya para bawahan tidak dapat menolak permintaan atasannya. Mereka justru berkewajiban melayani atasannya, bila menolak atau mencegah permintaan atasan maka dianggap sebagai tindakan yang tidak loyal terhadap atasan.

  2. Bribery (penyogokan, penyuapan), yaitu tindakan korupsi yang melibatkan orang lain di luar dirinya (instansinya). Tindakan ini dilakukan dengan maksud agar dapat mempengaruhi objektivitas dalam membuat keputusan atau keputusan yang dibuat akan menguntungkan pemberi, penyuap atau penyogok. Tindakan ini bisa berupa materi ataupun jasa, korupsi semacam ini seringkali terjadi pada dinas/instansi yang mempunyai tugas pelayanan, menerbitkan surat ijin, rekomendasi dan sebagainya sehingga mereka yang berkepentingan lebih suka mencari calo, memberi uang pelicin agar urusannya dapat diperlancar.

  3. Nepotism, yaitu tindakan korupsi berupa kecenderungan pengambilan keputusan yang tidak berdasar pada pertimbangan objektif, rasional, tapi didasarkan atas pertimbangan ”nepitis” dan” kekerabatan”,(misalnya: masih teman, keluarga, golongan, pejabat, dan sebagainya). Mereka melakukan tindakan terbut karena akan merasa aman dan dilindungi.

Sedangkan korupsi bila dilihat dari sifat korupsinya dibedakan menjadi dua yaitu:

    1. Korupsi Individualis, yaitu penyimpangan yang dilakukan oleh salah satu atau beberapa orang dalam suatu organisasi dan berkembang suatu mekanisme muncul, hilang dan jika ketahuan pelaku korupsi akan terkena hukuman yang bisa berupa disudutkan, dijauhi, dicela, dan bahkan diakhiri nasib karirnya. Perilaku korup ini dianggap oleh kelompok (masyarakat) sebagai tindakan yang menyimpang, buruk, dan tercela.

    2. Korupsi Sistemik, yaitu korupsi yang dilakukan oleh sebagian besar (kebanyakan) orang dalam suatu organisasi (melibatkan banyak orang). Dikatakan sistemik karena tindakan korupsi ini bisa diterima secara wajar atau biasa (tidak menyimpang) oleh orang-orang yang berada di sekitarnya yang merupakan bagian dari suatu realita.Jika ketahuan maka diantara mereka akan saling melindungi, menutup-nutupi dan mendukung satu sama lain demi untuk menyelamatkan orang yang ketahuan tersebut.

Faktor-faktor timbulnya Mal-Administrasi ada 2, yaitu:

  1. Faktor Internal, yaitu faktor yang berupa kepribadian seseorang yang berwujud suatu niat, kemauan, dorongan yang tumbuh dari dalam diri seseorang untuk melakukan tindakan mal-administrasi. Faktor inji disebabkan oleh lemahnya mental, dangkalnya agama dan keimanan sehingga memudahkan mereka untuk melakukan suatu tindakan mal-adminsitrasi.

  2. Faktor Eksternal, yaitu faktor yang berasal dari luar diri sesorang yang melakukan tindakan mal-administrasi, disebabkan karena lemahnya peraturan, lemahnya lembaga kontrol, lingkungan kerja dan sebagainya yang membuka peluang (kesempatan) untuk melakukan tindakan mal-administasi (korupsi).


Strategi Penanggulangankorupsi

proses penegakan hukum oleh aparat penegak hukum (polisi, jaksa dan hakim), khususnya berkenaan dengan perkarakorupsi di daerah-daerah dapat dikatakan telah mengalami kemajuan yang cukup signifikan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya jumlah kasuskorupsi yang dapat diungkap oleh aparat-aparat penegak hukum di daerah. Keberhasilan ini tidak lepas dari peran serta masyarakat dan lembaga-lembaga independen yang konsen terhadap upaya penegakan hukum dan pemberantasankorupsi.

Namun, pengungkapan kasuskorupsi ini seringkali tidak diimbangi dengan penanganan yang serius, sehingga dalam proses peradilannya penanganan kasus-kasus tersebut seringkali tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat. “Ketidakseriusan” ini sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari dua hal, yaitu: (i) besarnya intervensi politik dan kekuasaan, dan (ii) relatif lemahnya moral dan integritas aparat penegak hukum.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Petter Langseth mengungkapkan bahwa setidak-tidaknya ada empat strategi yang dapat diterapkan untuk mengurangi intensitaskorupsi di daerah, yaitu:13

1. Memutus serta merampingkan (streamlining) jaringan proses birokrasi yang bernuansa primordial di kalangan penentu yang, baik itu yang berada di lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif, sehingga tata kerja dan penempatan pejabat pada jabatan atau posisi-posisi tertentu benar-benar dapat dilaksanakan secara akuntabel dan profesional serta dilaksanakan dengan pertimbangan profesionalisme dan integritas moral yang tinggi;

2. Menerapkan sanksi pidana yang maksimal secara tegas, adil dan konsekuen tanpa ada diskriminasi bagi para pelakukorupsi, dalam arti bahwa prinsip-prinsip negara hukum benar-benar harus diterapkan secara tegas dan konsekuen, terutama prinsip equality before the law;

3. Para penentu yang, baik di bidang pemerintahan maupun di bidang penegakan hukum harus memiliki kesamaan visi, profesionalisme, komitmen, tanggungjawab dan integritas moral yang tinggi dalam menyelesaikan kasus-kasuskorupsi; dan

4. Memperjelas serta memperkuat mekanisme perlindungan saksi.

Selain keempat strategi yang dikemukakan oleh Langseth di atas, Dye dan Stapenhurst menambahkan bahwa perlu pula dilakukan upaya-upaya untuk memperkuat “Pillars of Integrity” yang melibatkan delapan pillars of integrity sebagai berikut:14 (1) lembaga eksekutif, (2) lembaga parlemen, (3) lembaga kehakiman, (4) lembaga-lembaga pengawas (watchdog agencies)15, (5) media, (6) sektor swasta,16 (7) masyarakat sipil,17 dan (8) lembaga-lembaga penegakan hukum.18

Sementara itu, dalam perspektif yang agak berbeda, Indriyanto Senoadji berpendapat bahwa untuk meminimalisasikorupsi yang telah menjadi satu permasalahan sistemik dan terstruktural yang sangat utuh terakar, kuat serta permanen sifatnya diperlukan usaha yang maksimal bagi penegakan hukum, yaitu melalui pendekatan sistem itu sendiri (systemic approach).

Pendekatan sistemik sebagaimana ditawarkan oleh Indriyanto Senoadji memiliki tiga lapis makna, yaitu: (1) maksimalisasi peran sistem ”Peradilan Pidana” secara luas, (2) koordinasi dan kepaduan antara aparat-aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa dan Pengadilan, bahkan termasuk advokat), dan (3) pembenahan hukum yang meliputi struktur / legal structure, substansi / legal substance dan budaya hukum / legal culture.19

Pada lapis makna yang pertama (maksimalisasi peran sistem peradilan pidana secara luas), pemberantasankorupsi tidak semata-mata dilakukan dengan memaksimalkan peran lembaga pengadilan sebagai suatu sub sistem. Ini terkait erat dengan lapis makna yang kedua (koordinasi dan kepaduan antar aparat penegak hukum yang meliputi Polisi, Jaksa dan Pengadilan serta advokat). Kait-mengkait antara sub-sub sistem tersebut bersifat saling pengaruh-mempengaruhi layaknya roda lokomotif yang berirama dan sistematis. Konkritnya, dibutuhkan kesamaan visi, koordinasi dan kerjasama yang baik di antara sub-sub sistem tesebut untuk dapat menghasilkan suatu upaya pemberantasankorupsi yang berhasil guna dan berdaya guna.

Selanjutnya, perlu pula diperhatikan lapis ketiga dari makna pendekatan sistemik, yaitu pembenahan hukum yang meliputi struktur / legal structure, substansi / legal substance dan budaya hukum / legal culture. Pembenahan struktur hukum meliputi perbaikan segala kelembagaan atau organ-organ yang menyelenggarakan peradilan, sehingga dapat meminimalisasi KKN. Dalam hal ini, birokrasi dan struktur peradilan serta pengawasan fungsi peradilan merupakan bagian-bagian yang selayaknya mendapatkan pembenahan. Selanjutnya, pembenahan substansi hukum yang dimaksudkan oleh Indriyanto Senoadji adalah menyangkut pembaharuan terhadap berbagai perangkat peraturan dan ketentuan normatif (legal reform), pola serta kehendak perilaku masyarakat yang ada dalam sistem hukum tersebut. Dalam kerangka pembenahan substansi hukum ini, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 berikut perubahan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi masih memerlukan beberapa revisi sesuai dengan sifat dinamis dari tindak pidanakorupsi tersebut. Revisi terhadap undang-undang tersebut antara lain berupa implementasi terhadap akseptabilitas Sistem Pembalikan Beban Pembuktian atau Reversal Burden of Proof (Omkering van Bewijslast) yang dinilai penting dan mendesak mengingatkorupsi telah menjadi suatu kejahatan serius yang harus ditindaklanjuti dengan upaya sarana pemberantasan yang bersifat extra ordinary pula, antara lain melalui Sistem Pembalikan Beban Pembuktian.

Terakhir, pembenahan budaya hukum merupakan aspek signifikan yang melihat bagaimana masyarakat menganggap ketentuan-ketentuan sebagai civic minded (berpihak pada kepentingan masyarakat) sehingga masyarakat akan selalu taat dan sadar akan pentingnya hukum sebagai suatu regulasi umum. Hal ini terkait erat dengan persoalan etika dan moral masyarakat serta pejabat penegak hukum dalam menyikapi KKN. Masalah rendahnya moral dan budaya hukum inilah yang sangat penting dalam pembangunan hukum Indonesia, khususnya dalam kerangka pemberantasankorupsi.20 Terhadap hal ini, kiranya pemerintah dapat mengkampanyekan pemberantasankorupsi dengan cara memasukkan ajaran-ajaran tentang moral dan etika ke dalam sistem pendidikan nasional serta mendorong dan memobilisai murid-murid di sekolah-sekolah untuk menciptakan suatu iklim sosial sedemikian rupa dimana di dalamnyakorupsi menjadi suatu hal buruk yang tidak dapat diterima. Dalam hal ini sekolah dijadikan sebagai ujung tombak yang diharapkan dapat menjangkau sejumlah besar anak. Melalui anak-anak ini lah kampanye antikorupsi diharapkan menyentuh para orang tua mereka dan akhirnya menyentuh masyarakat secara keseluruhan. Pemanfaatan media untuk memobilisasi masyarakat dalam upaya pemberantasankorupsi juga dapat menjadi bagian dari usaha ini.



Ragam Macam Pungutan dan Korupsi Pendidikan

Permasalahan korupsi dalam proyek pendidikan sudah menjadi rahasia umum. Misalnya pembangunan

gedung sekolah sering disoroti sarat dengan korupsi. Tentu ini berpengaruh kepada kualitas bangunan yang tidak layak

atau cepat rusak sebelum nilai ekonomisnya berakhir. Ironis memang, di satu sisi pemerintah berusaha meningkatkan

kualitas pendidikan nasional, tetapi korupsi di bidang ini tetap dan terus terjadi.

Upaya memerangi korupsi dan berbagai penyimpangan lain dalam pembangunan gedung sekolah maupun

penyelenggaraan pendidikan hanya bisa dilakukan bila ada transparansi dalam pengelolaan dana pendidikan. Di tingkat

sekolah, korupsi tidak bisa diperangi dari dalam sekolah, tetapi harus dilakukan dengan memberdayakan orangtua

murid dan masyarakat di sekitar sekolah. Langkah ini tentu bisa dilakukan oleh Departemen Pendidikan Nasional

(Depdiknas).

Depdiknas sebagai departemen yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan dana pendidikan nasional bisa

memulainya dengan membuka akses kepada publik mengenai dana-dana yang diterima, sekolah mana saja yang

menerima dana tersebut, dan untuk apa penggunaan dana tersebut. Selama ini, birokrasi pendidikan-dari pusat, dinas,

sampai kepala sekolah-sangat tertutup dan tidak mau membuka dokumen-dokumen berkaitan dengan proyek-proyek

yang ada di sekolah. Alhasil, informasi tentang pengelolaan dana pendidikan hanya ada di tangan kepala dinas dan

kepala sekolah. Hal ini tentu riskan terhadap penyelewengan dan tidak adanya kontrol dari publik, terutama stake

holder dunia pendidikan.

Kontrol dari dalam sekolah sulit diharapkan karena guru-guru dan siswa tidak mengetahui informasi yang

lengkap tentang proyek tersebut. Ketertutupan pengelolaan dana di tingkat sekolah dilakukan oleh para kepala sekolah

sehingga guru dan siswa tidak bisa melakukan kontrol terhadap pengelolaan dana tersebut. Selain itu, tentulah

kekuasaan birokrasi di sekolah sangat menentukan kontrol yang dilakukan oleh guru dan siswa. Guru yang menuntut

transparansi penggunaan dana di sekolah dengan mudah bisa dipindah oleh kepala sekolah ke sekolah lain.Kondisi

tersebut memerlukan keterlibatan dan kontrol dari masyarakat. Keterlibatan dan kontrol ini menjadi penting untuk

menghindari penyelewengan dan memenuhi aspek transparansi dalam pengelolaan dana pendidikan. Selama ini

keterlibatan masyarakat selalu diartikan menarik dana dari masyarakat untuk pendidikan, terutama sekolah. Setelah itu

masyarakat tidak pernah diberi tahu bagaimana dan untuk apa penggunaan dana tersebut

Disisi lain Beragamnya biaya sekolah telah yang mengganjal masyarakat untuk terus menyekolahkan

anaknya. Malah porsi terbesar pengeluaran keluarga dihabiskan untuk membayar kewajiban yang dibebankan oleh

sekolah. Untuk itu mereka kerap mengorbankan kebutuhan primer lainnya seperti makan, baik kualitas maupun

kuantitasnya, untuk memenuhi biaya sekolah. Di sisi lain, pihak sekolah tidak mau kompromi bila orang tua siswa

belum mampu memenuhi kewajibannya. Biasanya sangsi ditimpakan pada siswa, misalnya, dengan cara mengucilkan

atau menegur di depan kelas. Tapi cara yang paling umum dipakai adalah dengan menahan hak-hak siswa, seperti

rapor atau ijazah.

Banyaknya biaya yang dibebankan kepada orangtua murid ini menunjukkan pendidikan gratis di dibebankan

kepada orang tua murid. Hasilnya menunjukkan banyak aneka potongan yang dibebankan oleh sekolah. Paling tidak

48 Data Diolah

ada 19 dana potongan ditemukan di lokasi penelitian yaitu SD dan SMP/sedrajat, seperti biaya ujian, bangunan

sekolah, seragam sekolah, seragam olahraga, buku paket, wisata belajar (study tour), kegiatan ekstrakulikuler, daftar

ulang, rapor siswa, OSIS,UKS, perpustakaan, perayaan hari raya besar, dana taktis sekolah, gaji guru honorer hingga

mutasi kepala sekolah. Banyaknya biaya yang dibebankan kepada orang tua murid ini menunjukkan pendidikan gratis

dipemotongan itu sebaiknya dilakukan secara transparan, misalnya, pihak sekolah memungut sejumlah uang,

didiskusikan secara terbuka dengan pihak orang tua siswa baik keperluan maupun besarnya potongan. Akan tetapi dari

hasil survei ditemukan banyak potongan yang dikenakan pihak sekolah kepada orang tua murid tanpa melalui diskusi

yang transparan.



BAB III

BAB III

METODE PENELITIAN

Hal yang cukup penting dalam penelitian hukum sebagai suatu kegiatan ilmiah adalah proses analisa yang meliputi metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari gejala hukum tertentu, kemudian mengusahakan pemecahan atas masalah yang timbul.1 Sehingga dibutuhkan suatu metode penelitian yang tepat. Metode ini akan membantu proses penelitian sesuai dengan rumusan masalah yang akan dikaji dan tujuan penelitian yang akan dicapai.

Penelitian secara ilmiah artinya suatu metode yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala dengan jalan menganalisanya dan dengan mengadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan masalah-masalah yang ditimbulkan oleh fakta tersebut.2

Penelitian ilmiah dilakukan oleh manusia untuk menyalurkan hasrat ingin tahu yang telah mencapai taraf ilmiah, yang disertai dengan suatu keyakinan bahwa setiap gejala akan dapat ditelaah dan dicari hubungan sebab-akibatnya, atau kecenderungan- kecenderungan yang timbul.

Penelitian adalah sarana yang dipergunakan manusia untuk memperkuat, membina serta mengembangkan ilmu pengetahuan. Suatu penelitian telah dimulai apabila seseorang berusaha untuk memecahkan suatu masalah, secara sistematis, dengan metode-metode dan teknik-teknik tertentu, yakni yang ilmiah. Dengan demikian, maka suatu kegiatan ilmiah merupakan usaha untuk menganalisa serta mengadakan konstruksi, secara metodologi, sistematis dan konsisten.3

Sehubungan dengan kegiatan penelitian ilmiah tersebut, Sorejono Soekanto menyatakan :

Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi yang dilaksanakan secara metodologis dan konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu, sistematis berarti berdasarkan suatu sistem yang konsisten yang berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dengan suatu karangan tertentu”


A. Metode Pendekatan

Penelitian ini difokuskan pada masalah kebijakan-kebijakan publik dengan menganalisa kasus pelaksanaan kebijakan publik yang menyalahi peraturan perundang-undangan. Dengan demikian penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum yuridis normatif. Pendekatan yuridis mengandung arti bahwa dalam meninjau dan menganalisa masalah dipergunakan data sekunder di bidang hukum, yang meliputi berbagai macam peraturan perundang-undangan, hasil karya ilmiah, hasil-hasil penelitian dan literatur-literatur ilmu hukum. Sedangkan pendekatan normatif mengandung arti dalam meninjau dan menganalisa masalahnya dipergunakan pendekatan dengan menganalisa undang-undang.


B. Sifat dan Karakteristik Penelitian

Dalam tataran praktis, cukup sulit menetapkan secara kaku metode yang dapat digunakan dalam sebuah penelitian hukum. Tanpa harus terjebak pada keberagaman teknik pembedaan dan prediket metodologi, maka penelitian ini memilih sifat dan karakteristik penelitian seperti yang dapat dipahami dari empat unsur penting dibawah ini:


  1. Preskriptif

Dalam pengertian metodologi sebagai bantuan teknis dalam penelitian ini, metode yang dipilih berangkat dari sifat preskriptif keilmuan hukum sebagai sesuatu yang substansial4. Ilmu hukum yang preskriptif merupakan ilmu yang mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan5, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum dan norma hukum6. Metode ini diharapkan menghasilkan argumentasi dan konsep sebagai preskripsi yang sudah mengandung nilai dan dapat menjadi salah satu pertimbangan dalam menyelesaikan permasalahan yang yang berhubungan dengan penelitian ini.

Dalam klasifikasi ini, variabel-variabel yang ada dijelaskan dan diuji dengan alat ukur yang terdapat pada karakteristik prespektif ilmu hukum, sehingga dapat dicapai hasil yang berorientasi pada penyelesaian masalah hukum.

  1. Analitis

Jika pada klasifikasi diatas variabel dijelaskan dan diuji, maka pada klasifikasi “analitis” ini, masing-masing variabel dihubungkan yang pada dasarnya dikembalikan pada tiga aspek, yaitu : mengklasifikasi, membandingkan dan menghubungkan7.

  1. Pendekatan kasus (case approach)

Karena penelitian ini juga diharuskan menggunakan studi kasus seperti dijelaskan pada bagian latar belakang masalah, maka pendekatan kasus yang berkonsentrasi pada ratio decindendi menjadi penting untuk digunakan.

Ratio decindendi adalah alasan-alasan hukum yang digunakan hakim untuk sampai pada putusannya8, yang kemudian harus melihat pada fakta materil putusan. Fakta materil tersebut akan dijadikan rujukan dalam penelitian ini dengan menggunakan metode preskriptif analitis seperti dijelaskan diatas. Hal tersebut penting untuk dapat menggunakan pola pikir induktif, yakni yang berangkat dari kasus menuju tingkat abstraksi yang umum, sehingga diharapkan penyelesaian persoalan pada penelitian ini dapat menjadi rekomendasi untuk kasus-kasus kebijakan publik yang memicu terjadinya berbagai macam bentuk korupsi.

  1. Tinjauan sosiologis, historis dan komparatif sebagai alternatif penting.

Jika tiga klasifikasi diatas sangat dekat dengan metodologi penelitian, maka klasifikasi keempat ini cenderung lebih memposisikan diri sebagai alternatif penting analisis persoalan. Seperti dijelaskan pada latar belakang masalah, defenisi yang sangat kabur dan defenisi yang memiliki tingkat disparitas pemahaman yang tinggi antar berbagai pihak tentang kebijakan publik menjadikan tinjauan sosiologis, historis dan komparatif penting untuk digunakan.

Soerjono Soekanto dalam sub bab tentang pengolahan, analisa dan konstruksi data penelitian hukum mengatakan :

Seorang peneliti dapat mempergunakan metode sejarah9 dalam tinjauannya terhadap hukum, dan mempunyai kewajiban utama untuk menelaah hubungan antara hukum dengan gejala sosial lainnya dari sudut sejarah.[…] Sejarah hukum dapat memberikan pandangan yang luas bagi peneliti, karena hukum senantiasa dipengaruhi dan mempengaruhi aspek kehidupan lainnya”.10


Artinya, hukum harus dipandang tidak sekedar sebagai ide normatif, melainkan juga sebagai produk kenyataan kemasyarakatan atau realitas sosial11 yang dipahami berdasarkan perkembangannya dari perspektif historis. Memisahkan hukum dari penafsiran atas realitas sosial adalah sesuatu yang kurang tepat, terutama jika merujuk pada argumentasi C.S.T. Kansil.

Marx dan Engels menjelaskan hal tersebut menjadi pandangan-pandangan yang mempunyai akibat penting. Tidak ada asas-asas hukum yang abstrak, yang berlaku kekal di segala tempat, karena hukum senantiasa berubah, berperan dalam fungsi dasar materil kehidupan bermasyarakat12.

Argumentasi Marx tentang Hukum yang senantiasa berubah berdasarkan kenyataan sosial di masyarakat sesungguhnya saling berkorelasi secara positif dengan argumentasi yang diungkapkan Sudikno Mertokusumo, C.S.T Kansil, dan Soetandyo Wignjoesobroto.


C. Jenis Penelitian

  1. Penelitian Kepustakaan

Penelitian kepustakaan atau studi dokumen merupakan salah satu dari tiga alat pengumpulan data13 yang sering digunakan, baik secara sendiri-sendiri atau bersama-sama dalam berbagai penelitian. Dimana, dalam penelitian kepustakaan hal terpenting berada pada bahan-bahan penelitian, yaitu :

  1. Bahan-bahan Hukum

Seperti dipahami bahwa sikap preskiptif keilmuan hukum, maka penelitian hukum dipahami sebagai upaya untuk menghasilkan argumentasi, teori dan konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi14. Untuk memecahkan isu hukum sekaligus memberikan preskripsi maka diperlukan bahan-bahan hukum15.

Bahan-bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini terklasifikasi atas tiga, yakni Bahan hukum Primer, Bahan Hukum Sekunder, dan Bahan Hukum Tersier.


Bahan Hukum Primer

Dalam penelitian ini akan digunakan :

  1. Perundang-undangan

    1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana vide Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana;

    2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;

    3. Undang-undang Nomor 28 Tahun !999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme;

    4. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemeberantasan Tindak Pidana Korupsi;

    5. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999;

    6. United Nations Convention Against Corruption

Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder ini dipahami sebagai bahan hukum yang tidak berasal dari sebuah otoritas tertentu, yakni berwujud semua publikasi hukum yang tidak berasal dari dokumen-dokumen resmi, termasuk buku-buku teks hukum. Bahan hukum sekunder tersebut akan digunakan untuk menunjang penelitian ini sepanjang berhubungan dengan persoalan kebijakan publik dan korelasi antara kebijakan publik & korupsi.

Bahan Hukum Tersier

Dipahami sebagai bahan yang dapat digunakan selain bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yakni bahan-bahan yang memberi pentunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang berupa:

  1. Black’s Law Dictionary

  2. Kamus Besar Bahasa Indonesia

  3. I. P. M. Ranuhandoko B.A, Terminologi Hukum Inggris-Indonesia. Sinar Grafika, Jakarta : 2003

  4. J. C. T Simorangkir, SH dkk, Kamus Hukum. Sinar Grafika, Jakarta : 2004

Bahan Non-Hukum

Sulit untuk menafikan perspektif keilmuan diluar ilmu hukum untuk menganalisis sebuah persoalan, terutama persoalan yang cenderung berada pada wilayah filosofis dan mendasar. Karena itu penelitian ini sengaja memunculkan terminologi ‘bahan non-hukum’. Bahan non-hukum dapat diperoleh dari publikasi-publikasi yang berhubungan dengan tema dan subtansi yang dikupas pada penelitian ini, terutama yang berhubungan dengan persoalan kebijakan publik dalam berbagai perspektif dan teori-teori sosial yang membantu penjelasan tentang aspek-aspek kebijakan publik.

  1. Jalannya Penelitian

Penelitian kepustakaan ini berhubungan dengan prinsip “mengklasifikasikan, membandingkan dan menghubungkan” seperti diungkapkan Jujun S. Suriasumantri (1986) dalam bukunya ‘Ilmu dalam perspektif moral, sosial dan politik; Sebuah dialog tentang dunia keilmuan dewasa ini’. Prinsip tersebut dapat dipandang sebagai dasar dari sebuah konstruksi berpikir yang berhubungan erat dengan kemajuan di berbagai bidang ilmu, termasuk ilmu hukum.

Sehingga penelitian akan dilakukan dengan mempelajari penelitian yang pernah ada sebelumnya, buku-buku, jurnal, majalah dan semua media baca yang berhubungan dengan substansi penelitian ini.

  1. Penelitian Lapangan

Penelitian lapangan yang akan dilakukan berbentuk wawancara, sebagai satu alat pengumpul data yang diungkapkan Soerjono Soekanto. Dalam penelitian ini, studi dokumen atau kepustakaan akan digunakan bersama-sama dengan penelitian lapangan melalui wawancara.


D. Metode Penentuan Sampel

Pada penelitian lapangan, khususnya penelitian dengan wawancara, sangat banyak pihak-pihak yang berposisi sebagai subjek penelitian. Namun, karena keterbatasan peneliti maka tidak mungkin melakukan wawancara dengan semua subjek penelitian. Sehingga, penelitian ini akan menerapkan metode sampling dalam pemilihan subjek penelitian, yakni purposive sampling.

Sebelumnya penting untuk menjelaskan hal-hal prinsip tentang sampling. H. L. Manheim : 1977 menyebutkan :

“… a sample is used when the research design calls for the collection of information from or about a population which is so large or so widely scattered as to make it impractical to observe all the individual in the population”16.


Sedangkan purposive sampling merupakan salah satu metode sampling yang dapat digolongkan pada non-probalility sampling, atau yang lebih dikenal dengan istilah judgmental. Tata cara ini diterapkan apabila peneliti benar-benar ingin menjamin bahwa unsur-unsur yang ditelitinya masuk dalam sampel yang hendak ditariknya. Untuk itu ditetapkan syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi dalam memilih unsur-unsur sampel17.

Beberapa tolak ukur yang digunakan dalam pengambilan sampel adalah :

  1. Merupakan para pihak atau kuasa hukum pada perkara pidana Bambang Guritno baik itu pada pihak penggugat, tergugat maupun majelis hakim yang mengadili perkara tersebut.

  2. Dapat digolongkan pada salah satu kategori sebagai berikut :

    1. Praktisi atau pengamat Studi kebijakan publik

    2. Akademisi atau praktisi hukum, khususnya yang memahami pengaturan tentang korupsi dibidang kebijakan publik

Dengan penetapan dua tolak ukur diatas peneliti dapat memilih lebih bebas narasumber yang akan diwawancarai.

        1. Subjek Penelitian

Lazimnya penelitian lapangan sebuah penelitian hukum, setidaknya dikenal dua subjek penelitian, yaitu : responden dan narasumber. Pada prinsipnya, baik responden dan narasumber merupakan subjek penelitian yang digunakan dalam teknik wawancara. Dalam penelitian ini dipilih terminologi “narasumber” sebagai subjek penelitian karena point-point pertanyaan yang akan diajukan pada subjek penelitian berhubungan erat dengan kapasitas dan kompetensi keilmuan masing-masing, sehingga subjek penelitian akan diposisikan sebagai sumber yang pendapatnya dijadikan acuan analisis (doktrin-pen.) dalam penelitian ini

  1. Alat Pengumpulan Data

Untuk membantu penyelenggaraan penelitian lapangan dengan wawancara ini, maka digunakan alat berupa :

  1. Panduan wawancara : berupa point-point penting yang hendak digali dari narasumber, dalam proses lebih lanjut, point tersebut dapat menjadi daftar pertanyaan, baik yang akan digunakan untuk wawancara langsung, ataupun wawancara tidak langsung (secara tertulis).

  2. Daftar pertanyaan : merupakan bentuk kongkrit dari panduan wawancara, yakni berupa point-point yang sudah berbentuk kalimat tanya yang dapat digunakan dalam wawancara tertulis sebagai alternatif dari tidak terlaksananya wawancara langsung dengan narasumber

  1. Cara Pengumpulan Data

Seperti disebutkan diatas, penelitian lapangan yang dilakukan adalah dengan metode wawancara, yang secara eksplisit oleh Kahn dan Cannel dinyatakan bahwa Wawancara adalah ...a specialized pattern of verbal interaction—initiated for a specific purpose, and focused on some specific content ares, with consequent alimination of extraneous material18.

Dengan kata lain penelitian ini akan menggunakan wawancara sebagai salah satu cara perolehan data dari orang-orang yang dinilai berhubungan lansung dengan substansi yang diteliti dan orang-orang yang mempunyai kompetensi keilmuan untuk itu. Sedangkan teknis wawancara yang akan dilakukan adalah wawancara terarah (directive interview), wawancara berfokus (focussed interview) seperti dijelaskan oleh Pauline V. Young dalam bukunya “Scientific Social Surveys and Research”19 dan wawancara mendalam (depth interview).

  1. Jalannya Penelitian

Penelitian lapangan ini dilaksanakan pada pertengahan proses penelitian kepustakaan. Ketika mulai didapatkan gambaran awal tentang beberapa point penting yang berhubungan dengan kebijakan publik dan bentuk korupsi dalam bidang birokrasi publik serta dikaitkan dengan teori-teori hukum, maka dapat mulai dilakukan penelitian lapangan.

Satu metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah wawancara yang dilakukan pada narasumber-narasumber yang dipilih berdasarkan teknik purposive sampling. Wawancara dilakukan dengan cara bergantian, dengan tujuan agar gambaran persoalan yang telah diperoleh melalui penelitian kepustakaan tahap awal dapat lebih diperdalam sehingga menjadi bernilai penting untuk sebagai alat analisis pada penelitian ini. Akan tetapi pelaksanaan penelitian lapangan tidak menutup kemungkinan juga dilakukan bersamaan dengan penelitian kepustakaan, karena pada beberapa lokasi penelitian yang dipilih tidak tertutup kemungkinan terdapat kesempatan akses data, buku, jurnal dan terbitan dalam bentuk apapun yang berhubungan dengan tema penelitian ini.



E. Metode Analisis Data

Data yang diperoleh akan dianlisa dengan menggunakan metode analisis kualitatif, yaitu data yang diperoleh dipilih dan disusun secara sistematis kemudian dianalisa secara kualitatif agar mencapai kejelasan masalah. Data-data yang telah terkumpul diteliti dan dianalisa dengan menggunakan metode berpikir yang mendasar dari suatu fakta yang sifatnya umum kemudian ditarik kesimpulan yang sifatnya khusus sehingga nantinya dapat diketahui aspek-aspek kebijakan publik yang menyimpang sehingga terjadi bermacam bentuk korupsi. Metode kualitatif yaitu data yang diperoleh disusun secara sistematis dalam bentuk uraian atau penjelasan untuk menggambarkan hasil penelitian.



F. Metode Penyajian Data

Metode penyajian data dalam penelitian ini dilakukan melaui dat primer dan data sekunder yang diperoleh melaui penelitian ,selanjutnya dilakukan proses editing yaitu proses memeriksa atau meneliti data yang telah diperoleh untuk dinilai apakah sudah dipertanggung jawabkan sesuai dengan kenyataan dan disajikan dalam bentuk laoran sesuai dengan sifat laporan itu sendiri.
































1 Soerjono Soekanto, 1986 (Cet III), Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta. Hal.43

2 Loc. cit

3 Loc. cit

4 Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta.. Hal. 22

5 Bentuk keadilan dapat saja berubah-ubah, akan tetapi esensi keadilan selalu ada dalam kehidupan manusia dan kehidupan bermasyarakat. Karena keadilan tidak dapat dipisahkan dari hukum.

Ibid.

6 Ibid.

7 Jujun S Suriasumantri, 1986, Ilmu dalam perspektif moral, sosial dan politik : sebuah dialog tentang keilmuan dewasa ini, Gramedia, Jakarta. Hal. 61-62. dalam,

Shidarta, 2004 (Disertasi), Karakteristik Penalaran Hukum Konteks ke-Indonesiaan, Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung. Hal. 27-28.

8 Peter Mahmud Marzuki, Op. Cit. Hal. 119.

9 Meskipun Soerjono Soekanto mengakui adanya pendekatan historis dalam penelitian hukum, namun ia justru mengklasifikasikan pendekatan historis pada bagian ‘pengolahan, analisa dan konstruksi data penelitian hukum normatif’. Padahal merujuk pada pesatnya perkembangan keilmuan hukum, telaah hubungan hukum dengan gejala sosial dari sudut sejarah seperti yang dijelaskannya sepatutnya diklasifikasikan sebagai salah satu pendekatan dalam penelitian hukum sosiologis. Sepertinya pilihan ini diambil lantaran Soerjono Soekanto berpendapat bahwa pendekatan sosiologis adalah penelitian hukum yang dibantu oleh ilmu dan metode yang digunakan dalam Sosiologi, padahal sifat keilmuan Sosiologi yang mengadopsi karakteristik ilmu pasti banyak dikritik pada tataran prinsip.

10 Soerjono Soekanto, Op. Cit., Hal. 263

11 John Gilissen & Frits Gorle, 2005, Sejarah Hukum : Suatu Pengantar, Refika Aditama, Bandung. Hal. 14

12 Stoyanovic K, 1974, La Pensee Marxiste et le Droit, Parijs. Hal. 69-85. dalam Ibid. Hal 16

13 Soerjono Soekamto mengungkapkan bahwa tiga alat pengumpulan data yang sering digunakan dalam penelitian adalah : studi dokumen atau bahan pustaka, pengamatan atau observasi, dan wawancara atau interview.

Soerjono Soekamto, Op. Cit. Hal, 21

14 Peter Mahmud Marzuki, Op. Cit. hal 55

15 ibid. hal 141

16 H. L. Manheim : 1977, dalam Soerjono Soekamto, Op. Cit.. Hal. 68

17 Ibid. Hal. 196

18 R. L. Kahn & C.F. Cannel : 1957 dalam Ibid. Hal. 220

19 Pauline V. Young, 1970, “Scientific Social Surveys adn Research”. Dalam Ibid. Hal. 228

bab II

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA


A. Pengertian Kebijakan publik

Kebijakan publik merupakan ilmu yang relatif baru karena baru berkembang pesat di Amerika Utara dan Eropa setelah perang dunia kedua. Ilmu ini sesungguhnya merupakan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan dan sinisme terhadap ilmu politik oleh karena ilmu politik dipandang tidak aplikabel, tidak praktis dan lebih bersifat analitis teoritis belaka. Sebagai bagian khusus dari ilmu politik dan mempuyai korelasi yang cukup kuat dengan ilmu hukum, ilmu pemerintahan, ilmu administrasi publik, ilmu manajemen, ilmu ekonomi-politik dan ilmu-ilmu lainnya. Maka, ilmu kebijakan publik ini membekali diri dalam kerangka proses dan upaya menyediakan solusi sosial yang timbul dalam masyarakat.

Ilmu kebijakan publik ini berkembang pesat oleh karena kebutuhan analisis kebijakan yang memang dibutuhkan pada hampir semua departemen ataupun lembaga-lembaga publik. Analisis kebijakan menjadi penting dan strategis oleh karena keahlian yang spesifik dari bidang ini khususnya bagaimana menyediakan berbagai alternatif yang tersedia sebelum kebijakan publik diambil. Kemampuan dalam menyediakan berbagai alternatif dengan berbagai dampak kebijakan yang mungkin akan dihasilkan membuat ilmu ini menjadi fokus perkembangan dari ilmu politik dalam waktu-waktu ini dan kemungkinan prospek kedepan.1

Istilah kebijakan publik sebenarnya telah sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari dan dalam kegiatan-kegiatan akademis, seperti dalam kuliah-kuliah ilmu politik. Menurut Charles O. Jones2 istilah kebijakan (policy term) digunakan dalam praktek sehari-hari namun digunakan untuk menggantikan kegiatan atau keputusan yang sangat berbeda. Istilah ini sering dipetukarkan dengan tujuan (goals), program, keputusan (decisions), standard, proposal, dan grand design.

Namun demikian, meskipun kebijakan publik mungkin kelihatannya sedikit abstrak atau mungkin dapat dipandang sebagai sesuatu yang “terjadi” terhadap seseorang. Namun sebenarnya sebagaimana beberapa contoh yang telah dipaparkan diatas, pada dasarnya kita telah dipengaruhi secara mendalam oleh banyak kebijakan publik dalam kehidupan sehari-hari.

Secara umum, istilah “kebijakan” atau “policy”3 digunakan untuk menunjukan perilaku seorang aktor (misalnya pejabat, suatu kelompok, maupun suatu lembaga pemerintah) atau sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu. Pengertian kebijakan seperti ini dapat kita gunakan dan relatif memadai untuk keperluan pembicaraan- pembicaraan biasa, namun menjadi kurang memadai untuk pembicaraan-pembicaraan yang lebih bersifat ilmiah dan sistematis yang menyangkut analisisis kebijakan publik. Oleh karena itu, kita memerlukan batas-batas atau konsep kebijakan publik yang lebih tepat.

Pada dasarnya terdapat banyak batasan atau defenisi mengenai apa yang dimaksud kebijakan publik (public policy) dalam literatur-literatur ilmu politik. Masing-masing defenisi tersebut memberi penekanan yang berbeda-beda. Perbedaan ini timbul karena masing-masing ahli mempunyai latar belakang yang berbeda-beda. Sementara disisi yang lain, pendekatan dan model yang digunakan para ahli pada akhirnya juga akan menentukan bagaimana kebijakan publik tersebut hendak didefenisikan. Misalnya, apakah kebijakan dilihat sebagai rangkaian keputusan yang dibuat oleh pemerintah atau sebagai tindakan-tindakan yang dampaknya dapat diramalkan?

Dalam kesempatan ini kita akan menyebut beberapa batasan saja untuk keperluan analisis, kegunaan dari masing-masing konsep atau defenisi yang kita bicarakan akan dijelaskan kemudian. Selanjutnya, suatu batasan operasional akan kita berikan dengan cara menunjukan ciri-ciri utama dari setiap konsep atau defenisi yang kita bicarakan. Hal ini dilakukan agar dapat memperoleh manfaat yang lebih besar serta lebih mudah dalam mengkomunikasikan konsep-konsep tersebut.

Salah satu defenisi mengenai kebijakan publik diberikan Robert Eyestone. Ia mengatakan bahwa “secara luas” kebijakan publik dapat didefenisikan sebagai “hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungannya”.4 Konsep yang ditawarkan Eyestone ini mengandung pengertian yang sangat luas dan kurang pasti karena apa yang dimaksud dengan kebijakan publik dapat mencakup banyak hal. Batasan lain tentang kebijakan publik diberikan oleh Thomas R, Dye yang menyatakan bahwa “kebijakan publik adalah apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan”.5 Walaupun batasan yang diberikan oleh Dye ini dianggap agak tepat, namun batasan ini tidak cukup memberi pembeda yang jelas antara apa yang diputuskan oleh pemerintah untuk dilakukan dan apa yang sebenarnya dilakukan pemerintah. Disamping itu, konsep ini bisa mencakup tindakan-tindakan, seperti pengangkatan pegawai baru atau pemberian lisensi. Suatu tindakan yang sebenarnya berada diluar domain kebijaksanaan publik.

Seorang pakar ilmu politik lain, Richard Rose menyarankan bahwa kebijakan hendaknya dipahami sebagai “serangkaian kegiatan yang sedikit banyak berhubungan beserta konsekuensi-konsekuensinya bagi mereka yang bersangkutan daripada suatu keputusan tersendiri”.6 Defenisi ini sebenarnya bersifat ambigu, namun defenisi ini berguna karena kebijakan dipahami sebagai arah atau pola kegiatan dan bukan sekedar suatu keputusan untuk melakukan sesuatu.

Akhirnya marilah kita mendiskusikan defenisi yang diberikan oleh Carl Friedrich. Ia memandang kebijakan sebagai suatu arah tindakan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu yang memberikan hambatan-hambatan dan peluang-peluang terhadap kebijakan yang diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu tujuan atau merealisasikan suatu sasaran atau maksud tertentu.

Defenisi yang diberikan oleh Friedrich ini menyangkut dimensi yang luas karena kebijakan tidak hanya dipahami sebagai tindakan yang dilakukan oleh pemerintah, tetapi juga oleh kelompok maupun individu. Selain itu, gagasan bahwa kebijakan mencakup perilaku yang mempunyai maksud yang layak mendapatkan perhatian dan sekaligus harus dilihat sebagai bagian defenisi kebijakan publik yang penting, sekalipun maksud atau tujuan dari tindakan-tindakan pemerintah yang dikemukakan dalam defenisi ini mungkin tidak selalu mudah dipahami.

Namun demikian, satu hal yang harus diingat dalam mendefenisikan kebijakan, adalah bahwa pendefinisian kebijakan tetap harus mempunyai pengertian mengenai apa yang sebenarnya dilakukan, ketimbang apa yang diusulkan dalam tindakan mengenai suatu persoalan tertentu. Hal ini dilakukan karena kebijakan merupakan suatu proses yang mencakup pula tahap implementasi dan evaluasi sehingga defenisi kebijakan yang hanya menekankan pada apa yang diusulkan menjadi kurang memadai.

Oleh karena itu, defenisi mengenai kebijakan publik akan lebih tepat bila defenisi tersebut mencakup pula arah tindakan atau apa yang dilakukan dan tidak semata-mata menyangkut usulan tindakan. Berdasarkan pada pertimbangan seperti ini, maka defenisi kebijakan publik yang ditawarkan oleh James Anderson lebih tepat dibandingkan dengan defenisi-defenisi kebijakan publik yang lain.

Menurut Anderson kebijakan merupakan arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau persoalan.7 Konsep kebijakan ini kita anggap tepat karena memusatkan perhatian pada apa yang sebenarnya dilakukan dan bukan pada apa yang diusulkan atau dimaksudkan. Selain itu, konsep ini juga membedakan kebijakan dari keputusan yang merupakan pilihan di antara berbagai alternatif yang ada.

Sementara itu, Amir Santoso dengan mengkomparasikan berbagai defenisi yang dikemukakan oleh para ahli yang menaruh minat dalam bidang kebijakan publik menyinpulkan bahwa pada dasarnya pandangan mengenai kebijakan publik dapat dibagi kedalam dua wilayah kategori.8 Pertama, pendapat ahli yang menyamakan kebijakan publik dan tindakan-tindakan pemerintah. Para ahli dalam kelompok ini cenderung menganggap bahwa semua tindakan pemerintah dapat disebut sebagai kebijakan publik. Pandangan kedua, menurut Amir Santoso berangkat dari para ahli yang memberikan perhatian khusus kepada pelaksanaan kebijakan. Para ahli yang memberikan perhatian khusus kepada pelaksana kebijakan. Para ahli yang masuk dalam kategori ini terbagi ke dalam dua kubu, yakni mereka yang memandang kebijakan publik sebagai keputusan-keputusan pemerintah yang mempunyai tujuan dan maksud-maksud tertentu, dan mereka yang menganggap kebijaksanaan publik sebagai sesuatu yang memiliki akibat-akibat yang bisa diramalkan. Para ahli yang termasuk ke dalam kubu yang pertama melihat kebijakan publik ke dalam tiga lingkungan, yakni perumusan kebijakan, pelaksanaan kebijakan dan penilaian. Dengan kata lain, menurut kubu ini kebijakan publik secara ringkas dapat dipandang sebagai proses perumusan, implementasi dan evaluasi kebijakan. Ini berarti bahwa kebijakan publik adalah “serangkaian instruksi dari para pembuat keputusan kepada pelaksanaan kebijakan yang menjelaskan tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut”.9 Sedangkan kubu kedua lebih melihat kebijakan publik terdiri dari rangkaian keputusan dan tindakan. Kubu kedua ini diwakili oleh Presman dan Wildavsky yang mendefenisikan kebijakan publik sebagai suatu hipotesis yang mengandung kondisi-kondisi awal dan akibat-akibat yang bisa diramalkan.10

Tentu saja masih banyak kategori dan defenisi yang dapat dikemukakan menyangkut kebijakan publik. Masing-masing defenisi tersebut cukup memuaskan untuk menjelaskan satu aspek, namun besar kemungkinan gagal dalam menjalankan aspek yang lain. Oleh karena itu, preposisi yang menyatakan bahwa kebijakan publik merupakan kebijakan yang dikembangkan oleh lembaga-lembaga pemerintah dan pejabat-pejabat pemerintah harus mendapat perhatian sebaik-baiknya agar kita bisa membedakan kebijakan publik dengan bentuk-bentuk kebijakan yang lain, seperti misalnya kebijakan yang dikeluarkan oleh pihak swasta. Kebijakan tersebut dipengaruhi oleh aktor-aktor dan faktor-faktor bukan pemerintah, seperti misalnya kelompok-kelompok penekan (pressure groups), maupun kelompok-kelompok kepentingan (interest groups).

Keterlibatan aktor-aktor dalam perumusan kebijakan kemudian menjadi ciri khusus dari kebijakan publik. Ini disebabkan oleh kenyataan bahwa kebijakan itu diformulasikan oleh apa yang dikatakan oleh David Easton sebagai “penguasa” dalam suatu sistem politik, yaitu para sesepuh tertinggi suku, anggota-anggota eksekutif, legislatif, yudikatif, administrator, penasihat, raja dan semacamnya. Menurut Easton, mereka ini merupakan orang-orang yang terlibat dalam masalah sehari-hari dalam suatu sistem politik, mempunyai tanggung jawab untuk masalah-masalah ini, dan mengambil tindakan-tindakan yang diterima secara mengikat dalam waktu yang panjang oleh sebagian terbesar anggota sistem politik selama mereka bertindak dalam batas-batas peran yang diharapkan.11

Menurut Anderson, konsep kebijakan publik ini kemudian mempunyai beberapa implikasi, yakni12

Pertama, titik perhatian kita dalam membicarakan kebijakan publik berorientasi pada maksud atau tujuan dan bukan perilaku secara serampangan. Kebijakan publik secara luas dalam sistem politik modern bukan sesuatu yang terjadi begitu saja melainkan direncanakan oleh aktor-aktor yang terlibat dalam sistem politik. Kedua, kebijakan merupakan arah atau pola tindakan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah dan bukan merupakan keputusan-keputusan yang tersendiri. Suatu kebijakan mencakup tidak hanya keputusan untuk menetapkan undang-undang mengenai suatu hal, tetapi juga keputusan-keputusan beserta dengan pelaksanaannya. Ketiga, kebijakan adalah apa yang sebenarnya dilakukan oleh pemerintah dalam mengatur perdagangan, mengendalikan inflasi, atau mempromosikan perumahan rakyat dan bukan apa yang diinginkan oleh pemerintah. Jika lembaga legislatif menetapkan undang-undang yang mengharuskan pengusaha menggaji karyawannya dengan upah minimum menurut undang-undang, tetapi tidak ada sesuatu pun yang dilakukan untuk melaksanakan undang-undang tersebut sehingga tidak ada perubahan yang timbul dalam perilaku ekonomi maka hal ini dapat dikatakan bahwa kebijakan publik mengenai kasus ini sebenarnya merupakan salah satu dari non-regulasi upah.

Keempat, kebijakan publik mungkin dalam bentuknya bersifat positf atau negatif. Secara positif, kebijakan mungkin mencakup bentuk tindakan pemerintah yang jelas untuk mempengaruhi suatu masalah tertentu. Secara negatif, kebijakan mungkin mencakup suatu keputusan oleh pejabat-pejabat pemerintah, tetapi tidak untuk mengambil tindakan dan tidak untuk melakukan sesuatu mengenai suatu persoalan yang memerlukan keterlibatan pemerintah. Dengan kata lain, pemerintah dapat mengambil kebijakan untuk tidak melakukan campur tangan dalam bidang-bidang umum maupun khusus. Kebijakan untuk tidak campur tangan mungkin memiliki konsekuensi-konsekuensi besar terhadap masyarakat atau kelompok-kelompok masyarakat. Dalam bentuknya yang positif, kebijakan publik didasarkan pada undang-undang yang bersifat otoritatif. Anggota-anggota masyarakat menerima secara sah bahwa pajak harus dibayar dan Undang-Undang Perkawinan harus dipatuhi. Pelanggaran terhadap kebijakan ini berarti menghadapi resiko denda, hukuman kurungan atau dikenakan secara sah oleh sanksi-sanksi lainnya. Dengan demikian, kebijakan publik mempunyai sifat “paksaan” yang secara potensial sah dilakukan. Sifat memaksa ini tidak dimiliki oleh kebijakan yang diambil oleh organisasi-organisasi swasta, hal ini berarti kebijakan publik menunjukan ketaatan yang luas dari masyarakat. Sifat yang terakhir inilah yang membedakan kebijakan publik dengan kebijakan lainnya.

Sifat kebijakan publik sebagai arah tindakan dapat dipahami secara lebih baik bila konsep ini di rinci menjadi beberapa kategori. Kategori-kategori itu antara lain adalah tuntutan-tuntutan kebijakan (policy demands), keputusan-keputusan kebijakan (policy decisions), pernyataan-pernyataan kebijakan (policy statements), hasil-hasil kebijakan (policy outputs), dan dampak-dampak kebijakan (policy outcomes).13

Tuntutan-tuntutan kebijakan (policy demands) adalah tuntutan-tuntutan yang dibuat oleh aktor-aktor swasta atau pemerintah, ditujukan kepada pejabat-pejabat pemerintah dalam suatu sistem politik. Tuntutan-tuntutan tersebut berupa desakan agar pejabat-pejabat pemerintah mengambil tindakan atau tidak mengambil tindakan mengenai suatu masalah tertentu. Biasanya tuntutan-tuntutan ini diajukan oleh berbagai kelompok dalam masyarakat dan mungkin berkisar antara desakan secara umum bahwa pemerintah harus “berbuat sesuatu” sampai usulan agar pemerintah mengambil tindakan tertentu mengenai suatu persoalan.

Sementara itu, keputusan kebijakan (policy decisions) didefenisikan sebagai keputusan-keputusan yang dibuat oleh pejabat-pejabat pemerintah yang mengesahkan atau memberi arah dan substansi kepada tindakan-tindakan kebijakan publik. Termasuk dalam kegiatan ini adalah menetapkan undang-undang, memberikan perintah-perintah eksekutif atau pernyataan-pernyataan resmi, mengumumkan peraturan adminstratif atau membuat interpretasi yuridis terhadap undang-undang.

Sedangkan pernyataan-pernyataan kebijakan (policy statements) adalah pernyataan-pernyataan resmi atau artikulasi-artikulasi kebijakan publik. Yang termasuk dalam kategori ini adalah undang-undang legislatif, perintah-perintah dan dekrit presiden, peraturan-peraturan administratif dan pengadilan, maupun pernyataan-pernyataan atau pidato-pidato pejabat-pejabat pemerintah yang menunjukan maksud dan tujuan pemerintah dan apa yang dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.

Hasil-hasil kebijakan (policy outputs) lebih merujuk pada “manifestasi nyata” dari kebijakan-kebijakan publik yaitu hal yang sebenarnya dilakukan menurut keputusan-keputusan dan pernyataan-pernyataan kebijakan. Dengan menggunakan kalimat yang lebih sederhana, hasil-hasil kebijakan dapat diungkapkan sebagai apa yang dilakukan oleh suatu pemerintah dan keberadaannya perlu dibedakan dari apa yang dinyatakan oleh pemerintah untuk melakukan sesuatu. Disini perhatian kita difokuskan kepada masalah-masalah seperti pembayaran pajak, pembangunan jalan-jalan raya, penghilangan hambatan-hambatan perdagangan, maupun pemberantasan usaha-usaha penyelundupan barang. Penyelidikan mengenai hasil-hasil kebijakan mungkin akan menunjukan bahwa kebijakan dalam kenyataannya agak atau sangat berbeda dari apa yang tersirat dalam pernyataan-pernyataan kebijakan. Dengan demikian, kita dapat membedakan antara dampak-dampak kebijakan dengan hasil-hasil kebijakan. Hasil-hasil kebijakan lebih berpijak pada manifestasi nyata kebijakan publik, sedangkan dampak-dampak kebijakan (policy outcomes) lebih merujuk pada akibat-akibatnya bagi masyarakat, baik yang diinginkan atau tidak diinginkan yang berasal dari tindakan atau tidak adanya tindakan pemerintah.

  1. Kebijakan pemerintah di Indonesia di bidang pertanian dapat dipakai untuk menjelaskan konsep ini. Dengan mudah kita dapat mengukur hasil-hasil kebijakan pertanian – jumlah kredit yang diberikan, jumlah petani yang mendapat kredit dan sarana produksi, tingkat rata-rata kredit dan sebagainya. Pertanyaan-pertanyaan seperti: apakah dampak atau akibat dari tindakan-tindakan ini? Apakah bantuan kredit dan sarana produksi meningkatkan produksi padi petani sehingga pada gilirannya memperbaiki kehidupan sosial dan ekonomi petani? Pertanyaan-pertanyaan ini pada dasarnya mengarahkan perhatian kita kepada dampak dari kebijakan publik, suatu hal yang merupakan perhatian utama dalam analisis kebijakan publik. Sementara itu, bila kita ingin mengetahui apakah kebijakan- kebijakan publik mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya, maka pertanyaan seperti ini telah mengarah ke tugas evaluasi kebijakan.


  1. Teori Perencanaan Kebijakan Publik

Jika dilakukan analisis secara sangat detail dan komperehensif maka sangat banyak teori yang mempengaruhi perencanaan (pembuatan keputusan) kebijakan publik. Berbagai teori politik, ekonomi dan sosial mempengaruhi proses perencanaan kebijakan publik Namun secara garis besar, ada tiga kelompok teori besar yang mempengaruhi perencanaan kebijakan publik yaitu teori Pluralisme, Marxisme dan Institusionalisme.14

a. Teori Pluralisme

Teori ini berasumsi dasar bahwa oleh karena kenyataan bahwa sistem sosial ini terdiri dari berbagai elemen yang mungkin mirip atau berbeda satu sama lain maka perencanaan kebijakan publik harus melihat dan menghormati kenyataan ini dan mesti mengintegrasikannya dalam proses pembuatan keputusan. Teori pluralisme kemudian berkembang menjadi tiga kelompok besar yaitu teori kelompok (Group Theory), teori tiga wajah kekuasaan (Three Faces of Power) dan teori Neo-pluralisme.

  1. Teori kelompok; pada dasarnya bergumen bahwa seorang individu tidak akan pernah efektif dalam mempengaruhi proses pembuatan keputusan jika dirinya tidak meleburkan diri dalam sebuah kelompok besar. Dengan kelompok maka akan menjadi sebuah kekuatan yang efektif dalam mempengaruhi kebijakan publik. Oleh karena teori ini, kemudian muncul konsep interest groups dan preasure groups (kelompok penekan dan kelompok kepentingan) yang sangat berperan dan penting dalam studi kebijakan publik. Teori ini berasumsi bahwa kebijakan publik merupakan wahana untuk bersaing mencari pengaruh dimana negara dalam posisi netral. Bahkan teori ini cukup terkenal sejalan dengan konsep teori keseimbangan kelompok sebagai salah satu upaya penting dalam pembutan kebijakan yang responsif.

  2. Teori tiga wajah kekuasaan; merupakan teori yang dikembangkan berdasarkan teori pluralisme oleh Robert Dahl. Tiga wajah kekuasaan ini menyangkut tiga hal pokok yaitu kemandirian (independence), kemampuan mempenetrasi (penetrability) dan heterogenitas (heterogeneity) dari berbagai elemen dalam sistem politik. Walaupun teori ini banyak mendapat kritik, akan tetapi dimensi dari kekuasaan yang memang merefleksikan pluralitas dalam kehidupan sosial politik merupakan sesuatu yang tidak dapat dibantah. Maka tidak mengherankan jika kemudian dalam proses perencanaan kebijakan publik, berbagai segmen dalam sistem kekuasaan akan saling berinteraksi, bernegoisasi, tawar menawar untuk menetapkan sebuah kebijakan publik.

  3. Teori Neo-pluralis; merupakan teori yang dikembangkan lebih lanjut menyangkut tafsir kontemporer teori pluralis. Masih mendasarkan pada fondasi dasar yang sama, teori ini menjelaskan bahwa negara bukanlah lembaga yang netral, walaupun memang banyak kelompok kepentingan dan penekan yang mempengaruhi kebijakan publik. Sebagai akibat dari dari sistem yang pluralis, maka akan menghasilkan suatu kelompok (bisa saja negara atau pemerintah) menjadi privilege sehingga memunculkan structural aspects of power. Adopsi konsep strukturalisme inilah yang mewarnai perbedaan antara pluralisme dengan neo-pluralisme. Kenyataan strukturalisme ini juga merupakan sesuatu yang mempengaruhi dan mewarnai kebijakan publik.


b. Teori Marxisme

Teori marxisme berasumsi pada dasar pemikiran bahwa masyarakat terbagi atas beberapa kelas; dimana setiap kelas ini mempengaruhi posisi atas kekuasaan produksi, baik peralatan maupun sumberdaya. Mereka yang memiliki sedikit kekuasaan produksi disebut sebagai kelas kapitalis, sedang mereka yang sebagian besar tidak memiliki disebut sebagai kelas pekerja. Setidaknya ada empat teori besar yang diturunkan berdasarkan pengembangan Teori Marxisme atau Neo-marxisme, yaitu Teori Instrumentalisme, Teori Struktural fungsional, Teori Otonomi Negara dan Teori Sumberdaya Kekuasaan.

  1. Teori Instrumentalisme, mendasarkan diri pada asumsi bahwa negara hanya alat atau instrumen yang dipakai oleh kelas kapitalis untuk memenuhi kebutuhannya. Hampir dalam semua struktur kekuasaan, kelompok kapitalis memegang peranan sangat penting dan menjadikan negara sebagai alat kapitalismenya.15

  2. Teori Struktural Fungsional dikembangkan oleh Nicos Poulantzas dimana ternyata dalam kelas kapitalis sendiri terjadi perpecahan (class fractions) oleh karena kompetisi kepentingan. Oleh karenanya kemudian muncul kelas dalam kelas yang disebutnya struktural, dimana memang setiap level dari struktur mempunyai fungsinya sendiri-sendiri di dalam sebuah sistem dimana sistem itu bekerja. Ini artinya fungsi merupakan sebuah kebutuhan atas tersedianya struktur tersebut. Walaupun teori ini banyak dipengaruhi marxisme, akn tetapi kenyataan yang tidak bisa dibantah banyak pelaku dan ahli kebijakan publik mendasarkan desain organisasi dan analisis kelembagaannya menggunakan model ini. Memang persoalannya bukan kiri atau kanan akan tetapi lebih kepada asas kemanfaatan.

  3. Teori Otonomi Negara (state autonomy); mendasarkan diri pada pemikiran bahwa oleh karena keterbatasan kelompok pekerja dalam memegang kekuasaan, maka manajer negara (birokrat dan politisi senior) perlu mengelola ekonomi secara efektif dalam rangka merubah sistem (menjadi sistem marxisme) sebagaimana yang diharapkan.

  4. Teori Sumberdaya Kekuasaan (power resources); oleh karena posisi perorangan yang tidak memungkinkan melawan kaum kapitalis, maka seseorang harus bergabung dalam sebuah kelompok untuk menghasilkan sumberdaya kekuasaan yang besar. Jika pekerja mampu membuat kelompok yang besar dan kohesif maka sumberdaya kekuasaan dapat digunakan untuk mencapai tujuan mereka.

Walaupun pendekatan di kelompok marxisme masih juga terdapat berbagai kelemahan, namun teori ini-teori ini banyak mempengaruhi proses pengambilan keputusan baik di lingkup negara global, nasional maupun regional.


c. Teori Institusionalisme

Perbedaan mendasar teori institusionalisme dengan teori pluralisme dan marxisme adalah bahwa jika pluralisme dan marxisme memfokuskan perhatiannya pada masyarakat (society centered), maka teori institusionalisme menekankan diri pada kelembagaan elit pemerintahan (state centered) yang memang memiliki sumberdaya yang kuat dalam proses penyusunan kebijakan publik.

Itu berarti bahwa kebijakan publik sangatlah ditentukan oleh elit politik, birokrat dan pengambil keputusan dalam segmen aktor negara. Oleh karena kemampuan, pengalaman dan pengetahuan yang telah diperoleh dari kebijakan-kebijakan publik yang telah lama maka lembaga negara berikut birokratnya sudah sangat tahu persis apa, bagaimana dan mengapa kebijakan publik mesti ada. Akibat lebih lanjut adalah bahwa aktor negara dan struktur negara akan terus berkembang dan didominasi oleh kelembagaan birokrasi publik.16

Pengalaman pada banyak negara, termasuk Indonesia, pendekatan kelembagaan ini ternyata cukup efektif mempengaruhi manajemen publik negara baik dalam artian sempit maupun arti luas. Dominasinya lembaga mungkin membuktikan adopsi yang besar terhadap teori ini.

Selain itu juga dikembangkan bermacam-macam pendekatan teoritik untuk membantu dalam mempelajari perilaku dari seluruh sistem politik. Sekalipun kebanyakan pendekatan teoritik ini belum dikembangkan secara khusus untuk analisis kebijakan publik, namun pendekatan-pendekatan teoritik ini dapat diubah dengan mudah untuk tujuan tersebut.



B. Beberapa Pendekatan Dalam Analisis Kebijakan Publik

Para Ilmuwan politik telah menciptakan teori-teori untuk membantu mereka dalam memahami dan menjelaskan proses pembuatan keputusan. Mereka juga mengembangkan bermacam-macam pendekatan teoritik untuk membantu mereka dalam mempelajari perilaku dari seluruh sistem politik. Sekalipun kebanyakan pendekatan teoritik ini belum dikembangkan secara khusus untuk analisis kebijakan publik, namun pendekatan-pendekatan teoritik ini dapat diubah dengan mudah untuk tujuan tersebut. Kita akan membahas beberapa pendekatan teoritik yng sering dibicarakan oleh para ahli dalam mngkaji kebijakan publik. Seberapa besar manfaat yang dapat kita ambil dari penggunaan pendekatan-pendekatan teoritik tersebut dalam mengkaji kebijakan publik, tergantung pada sumbangan yang diberikan dalam mengarahkan perhatian kita dan memberi penjelasan bagi kegiatan politik atau dalam kasus kebijakan publik.

1. Pendekatan kelompok

Secara garis besar pendekatan ini menyatakan bahwa pembentukan kebijakan pada dasarnya merupakan hasil dari perjuangan antara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Suatu kelompok merupakan individu-individu yang diikat oleh tingkah laku atau kepentingan yang sama. Mereka mempertahankan dan membela tujuan-tujuan dalam persaingannya dengan kelompok-kelompok lain. Bila suatu kelompok gagal dalam mencapai tujuan-tujuannya melalui tindakannya sendiri, maka kelompok itu biasanya menggunakan politik dan pembentukan kebijakan publik untuk mempertahankan kepentingan kelompoknyta. Berbeda dengan apa yang dimaksud suatu kelompok potensial, adalah sekumpulan individu-individu dengan perilaku yang sama, berinteraksi untuk membentuk suatu kelompok, jika kelompok-kelompok lain mengancam kepentingan-kepentingan mereka. Pada akhirnya, “social equilibrium” dicapai pada waktu pola-pola interaksi kelompok dikarakteristikkan oleh suatu tingkat stabilitas yang tinggi.17

Dalam rangka mempengaruhi kebijakan publik suatu kelompok kepentingan akan menggunakan berbagai macam sumber untuk mempengaruhi pembuatan kebijakan tersebut, seperti uang, prestise, keahlian pengelolaan politik, kepemimpinan, informasi dan perhatian media massa. Sementara itu kelompok-kelompok lain mungkin saja tidak memiliki sumber yang memadai, seperti akses terhadap media misalnya. Dengan demikian, kebijakan-kebijakan publik akan mengarah kepada kelompok-kelompok yang berpengaruh baik secara ekonomis maupun non-ekonomis.

Pendekatan kelompok mempunyai angagapan umum bahwa interaksi perjuangan dan perjuangan kelompok merupakan kenyataan dari kehidupan politik. Dalam pandangan kelompok, individu akan mempunyai arti penting bila ia merupakan paritasan atau wakil dari kelompok tertentu. Dengan melalui kelompok-kelompok lah individu-individu mendapatkan pilihan politik yang mereka inginkan.

Kebijakan publik pada suatu waktu tertentu dalam pandang ini merupakan equilibrium yang dicapai dalam perjuangan berbagai kelompok. Equilibrium ini ditentukan oleh pengaruh relatif dari kelompok-kelompok kepentingan yang diharapkan menghasilkan perubahan-perubahan dalam proses pembuatan kebijakan publik. Besar kecilnya pengaruh-pengaruh kelompok oleh jumlah kekayaan, kekuatan organisasi, akses terhadap pembuatan keputusan dan kohesi dalam kelompok.

Jika para ilmuwan konsisten menggunakan pendekatan kelompok, maka kehidupan politik akan dilihat sebagai perjuangan kelompok-kelompok dalam sistem politik. Para pembuat kebijakan dipandang sebagai pihak yang menanggapi secaa konstan tekanan-tekanan kelompok, tawar-menawar (bargaining), perundingan dan kompromi antara tuntutan-tuntutan yang berbeda dari kelompok-kelompok yang berpengaruh dalam politik.

Dalam memperjuangkan kepentingan mereka masing-masing kelompok-kelompok ini dapat menggunakan strategi pembentukan koalisi dengan kelompok-kelompok lain dan tetap mengamati politik kebijakan. Kelompok-kelompok kepentingan lebih memusatkan pada lembaga legislatif, ketimbang cabang-cabang pemerintah lain dan birokrasi eksekutif mendapt tempat kedua sebagai pilihan untuk mendapatkan akses-akses. Kelompok-kelompok mengetahui dengan baik bahwa anggota-anggota dari lembaga legislatif dapat mencampuri kegiatan-kegiatan birokrasi untuk kepentingan mereka. Sementara itu hubungan-hubungan antara kelompok-kelompok dengan birokrasi semakin erat dan lebih baik. Jika kedua kekuatan itu mempunyai struktur-struktur fungsional yang paralel.

Namun demikian, seperti diungkapkan Anderson pendekatan kelompok memiliki kelemahan, yakni terlalu meremehkan peran bebas dan kreatif yang dilakukan oleh pejabat pemerintah dalam proses pembuatan kebijakan publik. Ini karena terlalu besar pandangannya terhadap peran kelompok-kelompok dalam sistem politik. Oleh karena itu, menganalis kebijakan publik hanya dengan menggunakan pendekatan kelompok dirasa agak kurang memadai tanpa memperhatikan faktor-faktor lain yang mempengaruhi proses kebijakan publik.18

2. Pendekatan proses fungsional

Suatu cara lain untuk mendekati studi pembentukan kebijakan adalah dengan jalan memusatkan perhatian kepada berbagai kegiatan fungsional yang terjadi dalam proses kebijakan. Harold Lasswell mengemukakan tujuh kategori analisis fungsional yang dapat digunakan sebagai dasar bagi pembahasan teori fungsional:19

  1. Inteligensi: Bagaimana informasi tentang masalah-masalah kebijakan mendapat perhatian para pembuat keputusan-keputusan kebijakan dikumpulkan dan diproses.

  2. Rekomendasi: Bagaimana rekomendasi-rekomendasi atau alternatif-alternatif untuk mengatasi suatu masalah tertentu dibuat dan dikembangkan.

  3. Preskripsi: Bagaimana peraturan-peraturan umum dipergunakan dn diterapkan dan oleh siapa.

  4. Permohonan(invocation): Siapa yang menentukan apakah perilaku tertentu bertentangan dengan peraturan-peraturan atau perundang-undangan dan menuntut penggunaan peraturan-peraturan atau undang-undang?

  5. Aplikasi: Bagaimana undang-undang atau peraturan-peraturan sebenarnya diterapkan dan diberlakukan?

  6. Penilaian: Bagaimana pelaksanaan kebijakan, keberhasilan atau kegagalan itu dinilai?

  7. Terminasi: Bagaimana peraturan-peraturan atau undang-undang dengan semula diberhentikan atau dilanjutkan dalam bentuk yang berubah atau dimodifikasi?


Dalam tahap-tahap selanjutnya dari proses kebijakan, para pembuat kebijakan mungkin berusaha menggunakan informasi baru untuk mengubah proses kebijakan semula. Walaupun Lasswell mengatakan bahwa desain ini sebagai proses keputusan, desain ini berada di luar pembuatan keputusan yang berangkat dari pilihan-pilihan khusus dan sebenarnya mencakup “arah tindakan tentang suatu masalah”.

Desain analisis ini mempunyai beberapa keuntungan. Pertama, desain ini tidak terikat pada lembaga-lembaga atau peraturan-peraturan politik khusus. Kedua, desain analisis ini memberi keuntungan untuk analisis komparasi pembentukan kebijakan. Untuk tujuan tersebut, orang bisa saja menyelidiki bagaimana fungsi-fungsi yang berbeda ini dilaksanakan., pengaruh apa dan siapa dalam sistem politik atau unit pemerintahan yang berbeda dilakukan. Namun demikian, desain ini memiliki kelemahan. Penekanannya pada kategori-kategori fungsional mungkin akan menyebabkan pengabaian terhadap politik pembentukan kebijakan dan pengaruh variabel-variabel lingkungan dalam proses pembuatan kebijakan publik. Karena pembentukan kebijakan bukan sekedar proses intelektual.

3. Pendekatan Kelembagaan

Struktur-struktur atau lembaga-lembaga pemerintah telah lama menjadi fokus yang penting dari ilmu politik. Kajian ilmu politik tradisional memfokuskan pada lembaga-lembaga pemerintahan. Kegitan individu-individu dan kelompok-kelompok akan diarahkan kepada lembaga-lembaga pemerintahan dan kebijakan publik secara otoratif.

Oleh karena itu hubungan antara kebijakan publik dan lembaga-lembaga pemerintahan akan dilihat sebagai hubungan yang sangat erat. Suatu kebijakan tidak akan menjadi suatu kebijakan publik sebelum kebijakan itu dilaksanakan dan ditetapkan oleh suatu lembaga pemerintahan. Lembaga-lembaga pemerintah memberi tiga karakteristik yang berbeda terhadap kebijakan publik. Pertama, pemerintah memberi legitimasi kepaa kebijakan-kebijakan. Kebijakan-kebijakan pemerintah dipandang sebagai kewajiban yang sah menurut loyalitas warga negara. Rakyat mungkin memandang kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh korporasi, organisasi profesional asosiasi sipil dan sebagainya sangat penting dan bahkan mengikat. Tetapi hanya kebijakan-kebijakan pemerintah sajalah yang membutuhkan kewajiban-kewajiban yang sah. Kedua, kebijakan-kebijakan pemerintah membutuhkan universalitas. Hanya kebijakan-kebijakan pemerintah yang dapat menjangkau dan menghukum secara sah orang-orang yang melanggar kebijakan tersebut. Sanksi-sanksi yang dijatuhkan oleh kelompok-kelompok dan organisasi-organisasi lain bersifat lebih terbatas dibandingkan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Dengan demikian, keunggulan dari kebijakan yang dikeluarkan oleh pemrintah dapat menuntut loyalitas warganegaranya dan mempunyai kemampuan membuat kebijakan yang mengatur seluruh masyarakat dan memonopoli penggunaan kekuatan secara sah yang mendorong individu-individu dan kelompok membentuk pilihan-pilihan mereka dalam kebijakan.

Sekalipun demikian, pendekatan ini juga memiliki kelemahan, kelemahan yang paling mencolok adalah bahwa pendekatan lembaga dalam ilmu politik tidak mencurahkan perhatian yang banyak pada hubungan antar strukur lembaga-lembaga pemerintah dan substansi kebijakan. Aturan-aturan konstitusi dan undang-undang dijelaskan secara terperinci sebagaimana kantor-kantor pemerintahan dan badan-badan pemerintahan yang banyak sekali jumlahnya, baik di pusat maupun di daerah-daerah. Kebijakan-kebijakan publik seringkali dijelaskan, tetapi jarang dianalisis dan hubungan antara struktur dan kebijakan publik secara luas tidak diselidiki.

Meskipun studi lembaga pada awalnya mempunyai fokus yang sempit dalam ilmu politik, tetapi pendektan struktur tidak berarti merupakan suatu pendekatan yang tidak produktif sama sekali. Lembaga-lembaga pemerintah sebenarnya menerapkan pola-pola perilaku yang dari individu dan kelompok-kelompok. Pola-pola perilaku yang stabil ini mungkin mempengaruhi substansi kebijakan publik. Pola-pola seperti ini barangkali akan memberikan keuntungan kepada kepentingan-kepentingan tertentu dalam masyarakat dan tidak memberikan keuntungan kepada kelompok-kelompok lain.

Dalam pandangan Anderson, pendekatan lembaga tidak merupakan pendekatan yang sempit atau bersifat deskriptif karena seorang ilmuwan dapat saja menanyakan hubungan-hubungan yang terjadi antara aturan-aturan lembaga dan substansi kebijakan publik. Selain itu, seorang ilmuwan juga dapat menyelidiki hubungan-hubungan ini dalam suatu bentuk yang sistematik dan komparatif.

Pandangan seperti Anderson telah mendorong pada anggapan atas dasar logika apriori bahwa dengan perubahan kelembagaan akan turut mempengaruhi perubahan kebijakan. Maka seorang peminat kebijakan publik harus hati-hati dalam menilai dampak struktur pada kebijakan. Namun dengan melakukan analisis kebijakan hanya dengan mendasarkan pada aturan-aturan lembaga akan mempunyai dampak kecil pada kebijakan publik, jika kekuatan lingkungan yang mendasari, seperti misalnya kekuatan-kekuatan sosial, ekonomi dan politik tetap konstan.

4. Pendekatan logical-positivist

Pendekatan logical-positivist, seringkali disebut sebagai pendekatan perilaku (behavioral approach) atau pendekatan keilmuan (scientific approach), menganjurkan penggunaan teori-teori yang berasal dari penelitian deduktif (deductively derived theories), model-model, pengujian hipotesis, data keras, metode komparasi dan analisis statistik yang ketat. “Keilmuan” dalam konteks ini mempunyai makna beberapa hal. Pertama, mempunyai makna mengklasifikasi konsep-konsep kunci yang digunakan dalam analisis kebijakan. Misalnya, konsep-konsep, seperti implementasi kebijakan harus didefinisikan lebih hati-hati. Sebelumnya, implementasi kebijakan didefinisikan sebagai dikotomi ya atau tidak, ketimbang sebagai suatu proses merancang garis-garis pedoman, menyediakan dana, memonitor kinerja dan memperbaiki undang-undang. Kedua, mempunyai makna bekerja dari teori eksplisit tentang perilaku kebijakan, dan menguji teori ini dengan hipotesis-hipotesis. Ketiga, mempunyai makna menggunakan data keras, mengembankan langkah-langkah yang baik terhadap berbagai fenomena dan secara ideal menyelidiki bermacam-macam penjelasan melewati waktu. Pendekatan ini sebenarnya mulai digunakan pada saat terjadi revolusi perilaku (behavioral revolution) dalam ilmu sosial segera setelah Perang Dunia II. Pendekatan ini telah berlangsung selama 50 tahun, dan telah menjadi pendekatan epistomologi keilmuan yang dominan dalam ilmu politik. Namun demikian, pendekatan ini bukan bebas dari kritik, yang berpendapat bahwa pendekatan itu keliru dalam memahami proses kebijakan dengan memperlakukannya sebagai “proyek rasional”20 yaitu, proses kebijakan adalah jauh lebih kompleks, ketimbang perspektif seperti ban berjalan. Dengan demikian, pendekatan ini tidak memberi kemungkinan untuknya sebagai suatu teknik analisis yang sangat canggih. Kritik ini mengambil bentuk dekonstruksi postpositivist terhadap metode-metode perilaku tradisional, dan berpendapat sebagai penggantinya pendekatan yang lebih intiutif atau pendekatan partisipatori terhadap analisis kebijakan publik.

5. Pendekatan ekonometrik

Pendekatan ekonometrik, kadangkala dinamakan pendekatan pilihan publik (the public choice approach) atau pendekatan ekonomi politik, terutama didasarkan pada teori-teori ekonomi politik. Pendekatan ini menjelaskan bahwa sifat alami manusia diasumsikan “rasional” atau dimotivasi oleh pencapaian secara pribadi murni. Pendekatan ini beranggapan bahwa orang-orang mengejar prefensi-prefensi mereka yang berbobot tetap, terlepas hasil-hasil kolektif.21 Secara esensial, pendekatan ini mengintegrasikan wawasan umum tentang riset kebijakan publik dengan metode-metode keuangan publik. Misalnya, diasumsikan bahwa prefensi-prefensinya ke dalam masyarakat luas yang bisa meminta tindakan pemerintah.

Pendekatan ini telah memperoleh respek dalam ilmu kebijakan, sekalipun dikritik sebagai pendekatan yang agak sempit terhadap analisis kebijakan. Secara khusus, ada yang berpendapat bahwa pendekatan-pendekatan ini tidak sama sekali salah, tetapi pendekatan ini dianggap lengkap dengan asumsi-asumsinya tentang sifat manusia dan kekuasaan politik. Secara khusus, manusia adalah altruistik (tidak hanya rasional atau egois), dan dengan demikian, kadangkala dimotivasi untuk melayani kepentingan publik atau kepentingan kolektif.22

6. Pendekatan fenomologik (postpositivist)

Dalam kurun waktu belakangan muncul kekecewaan yang semakin meningkat dengan menggunakan metode-metode keilmuan (termasuk pendekatan positivismelogik dan pendektan ekonometrik) dalam studi kebijakan publik. Para ilmuwan yang menentang studi keilmuan (behavioral) terhadap kebijakan publik lebih menyukai suatu pendekatan di mana intuisi lebih penting daripada pendekatan-pendekatan keilmuan/positivist. Pendektan ini dinamakan pendekatan phenomologik, naturalistik, atau pospositivist. Pada intiny, pendekatan ini berpendapat bahwa para analisis perlu mengadopsi “suatu respek bagi penggunaan intuisi yang sehat secara tertib, yang dirinya dilahirkan dari pengalaman yang tidak bisa direduksi ke model, hipotesis, kuantitatif dan data keras,” secara metodologik, para analisis memperlakukan setiap potongan dari fenomena sosial sebgai suatu peristiwa yang unik, dengan indeks etnografik dan indeks kualitatif menjadi yang paling penting. Pandangan alternatif ini dideskripsikan dengan pemahaman, ketimbang prediksi, dengan hipotesis-hipotesis kerja, ketimbang dengan pengujian hipotesis yang ketat, dan dengan hubungan timbal balik antara peneliti dan obyek studi, ketimbang observasi yang terpisah di pihak para analisis. Untuk mengumpulkan “bukti” pendekatan ini lebih memanfaatkan penggunaan studi-studi kasus secara berkelanjutan, ketimbang menggunakan teknik-teknik analisis yang canggih. Pendekatan ini lebih menekankan kepeduliannya pada keketan keilmuan dengan intuisi dan pembenaman secara menyeluruh dalam informasi yang relavan.

Kritik-kritik terhadap pendekatan postpostivis/naturalistik lebih dikaitkan pada kekurangan kekuatannya dan bergerak menjauhi pendekatan keilmuan yang dianjurkan oleh kelompok behavioralis dan kelompok ekonomi. Seolah-olah pendukung pendekatan postpostivis/naturalist ini mengingkan kembali ke pendekatan behavioral/praperilaku, dimana studi-studi deskriptif, nonscientific, dan intuitive memberikan ciri sebagian besar apa yang dilakukan bagi analisis kebijakan.

7. Pendekatan normatif atau preskriptif

Dalam pendekatan normatif atau preskriptif, analisis perlu mendefinisikan “end state,” dalam arti bahwa preskripsi ini bisa diinginkan dan dicapai. Para pendukung pendekatan ini seringkali menyarankan suatu posisi kebijakan dan menggunakan retrorika dalam suatu cara yang sangat lihai untuk meyakinkan pihak lain tentang manfaat dari posisi mereka. Beberapa contoh dari tipe analisis kebijakan ini bisa dilihat dari hasil studi yang diakukan oleh Henry Kisinger, Jeane Kirkpatrick, atau para ilmuwan politik praktisi lainnya. Pada intinya, mereka menggunakan argumen-argumen yang lihai dan kadangkala secara selektif menggunakan data untuk mengajukan suatu posisi politik dan untuk meyakinkan pihak lain bahwa posisi mereka dalam suatu pilihan kebijakan yang layak. Kadangkala, tipe analisis ini mengarah kepada tuduhan bahwa para analisis kebijakan seringkali menyembunyikan ideology mereka sebagai ilmu.

8. Pendekatan ideologik

Sekalipun tidak semua analisis secara eksplisit mengadopsi pandangan konservatif atau pandangan liberal, mereka nyaris selalu mempunyai suatu pandangan yang tertanam dalam analisis kebijakan mereka. Thomas Sowell menamakan pendekatan ideologi ini “visi” (visions) dan mengidentifikasi dua perspektif yang bersaing.23

Pertama, (the constrained vision) merupakan suatu gambaran manusia egosentrik dengan keterbatasan moral. Oleh karenanya, tantangan moral dan sosial yang fundamental adalah untuk membuat yang terbaik dari kemungkinan-kemungkinan yang ada dalam keterpaksaan/keterbatasan ketimbang menghamburkan nergi dalam suatu upaya sia-sia untuk mengubah sifat manusia. Dengan, logika ini, kemudian, orang seyogyianya mengandalkan pada insentif, ketimbang disposisi, untuk mendapatkan perilaku yang pantas. Prospek dari ganjaran atau ketakutan terhadapa hukuman memberikan insentif untuk memperoleh perilaku yang pantas. Secara fundamental, hal ini menghasilkan suatu pandangan konservatif tentang sifat manusia dan akan mengarah kepada posisi kebijakan yang lebih konservatif, jika orang beranggapan bahwa keterpaksaan utama berasal dari dalam individu , ketimbang pembebanan yang berasal dari lingkungan di luar individu.

Kedua, “visi yang tidak dibatasi” (the unconstrained vision) memberikan suatu pandangan tentang sifat manusia dimana pemahaman dan disposisi manusia adalah mampu untuk memperoleh keuntungan-keuntngan sosial. Menurut perspektif ini, manusia mampu merasakan secara langsung kebutuhan-kebutuhan orang lain lebih penting, ketimbang kebutuhan-kebutuhan merek sendiri, dan karenanya mampu bertindak secara konsisten dan secara adil, bahkan pada saat kepentingan-kepentingan mereka atau keluarga mereka terlibat. Kemudian, pandangan tentang sifat manusia ini, seringkali dikaitkan dengan pandangan liberalbahwa sifat manusia adalah tidak mempunyai keterbatasan. Agaknya, keterbatasan justru dikenakan oleh lingkungan di luar individu.

9. Pendekatan historis/sejarah

Banyak sarjana kebijakan publik makin meningkatkan perhatian mereka kepada evolusi kebijakan melintasi waktu. Peneliti bisa melakukan penelitian tentang kebijakan-kebijakan publik dari perspektif lima puluh tahun atau lebih. Dengan demikian, peneliti bisa melihat pola-pola tertentu dalam bentuk kebijakan publik yang sebelumnya yang tidak dikenali karena analisis menggunakan kerangka waktu yang pendek (misalnya, analisis lintas sectional atau analisis terbatas pada kurun waktu satu dekade atau lebih). Hanya dengan meneliti kebijakan-kebijakan publik dari titik pandang kurun waktu yang panjang analisis bisa memperoleh perspektif yang lebih baik tentang pola-pola yang ada dalam pembuatan kebijakan publik, baik misalnya di negara-negara maju, seperti di Amerika Serikat, maupu di negara-negara berkembang, seperti di Indonesia.

Dalam kasus kebijakan publik di Amerika Serikat misalnya, ada dua perspektif yang bertentangan mengenai sifat pembuatan kebijakan publik. Pertama, perspektif yang menjelaskan bahwa pembuatan kebijakan cenderung mengikuti polsa siklus dimana kecenderungan-kecendurungan yang konservati mengikuti kecenderungan-kecendurunganliberal, kemudian pola ini terulang melintasi waktu. Perspektif ini menyarankan suatu pendekatan reaktif terhadap pembuatan kebijakan yang repetitive, dan dalam beberapa hal, non rasional sepanjang waktu. Kedua, perspektif yang menyarankan suatu penjelasan evolusioner, dimana kebijakan publik merefleksikan pembelajaran kebijakan yang lebih bijak.


Masing-masing teori atau pendekatan lebih memusatkan pada aspek-aspek politik dan pembuatan kebijakan yang berbeda. Oleh karena itu, pendekatan-pendekatan seperti ini tampaknya lebih bermanfaat bagi beberapa tujuan dan beberapa situasi tertentu daripada bagi tujuan-tujuan dan situasi-situasi yang lain. Dengan demikian secara umum orang tidak harus terikat secara ketat atau dogmatis kepada model atau pendekatan teoritik tertentu. Suatu aturan yang baik adalah bersifat elastis dan luwes dan menggunakan teori-teori tersebut sebagai konsep-konsep yang mengorganisir yag nampak paling bermanfaat untuk melakukan analisis kebijakan, serta penjelasan yang memuaskan mengenai kebijakan publik atau tindakan politik tertentu.

Pengertian Korupsi

Menurut Fockema Andreae24 kata korupsi berasal dari bahasa Latin corruptio atau corruptus (Webster Student Dictionary: 1960). Selanjutnya disebutkan bahwa corruptio itu berasal pula dari kata asal corrumpere, suatu kata Latin yang lebih tua.

Dari bahasa Latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris, yaitu Corruption, corrupt; Prancis, yaitu corruption; dan Belanda, yaitu corruptie (korruptie). Kita dapat memberanikan diri bahwa dari bahasa Belanda inilah kata itu turun ke Bahasa Indonesia, yaitu “korupsi”.

Arti harfiah dari kata itu ialah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah.

Kehidupan yang buruk di dalam penjara misalnya, sering disebut sebagai kehidupan yang korup, yang segala macam kejahatan terjadi disana.

Istilah korupsi yang telah diterima dalam perbendaharaan kata di Indonesia, talah disimpulkan oleh Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia: “Korupsi ialah perbuatan yang buruk sepeti penggelapan uang, penrimaan uang sogok dan sebagainya.”25

Di Malaysia terdapat juga peraturan anti korupsi. Disitu tidak dipakai kata korupsi melainkan dipakai istilah resuah yang tentulah berbahasa Arab (riswah), yang menurut kamus Arab-Indonesia artinya sama dengan korupsi.26

Dengan pengertian korupsi secara harfiah itu dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa sesungguhnya korupsi itu sebagai suatu istilah yang sangat luas artinya.

Sekarang di Indonesia jika orang berbicara mengenai korupsi, pasti yang dipikirkan hanya perbuatan jahat menyangkut keuangan negara dan suap. Pendekatan yang dapat dilakukan terhadap masalah korupsi bermacam ragamnya, dan artinya tetap sesuai walaupun kita mendekati masalah itu, dari berbagai aspek.

Pendekatan Sosiologis misalnya, seperti halnya yang dilakukan oleh Syeid Hussein Alatas dalam bukunya The Sociology of Corruption, akan lain artinya kalau kita melakukan pendekatan normatif; begitu pula dengan politik dan ekonomi. Misalnya Alatas memasukan “nepotisme” dalam kelompok korupsi, dalam klasifikasinya (memasang keluarga atau teman pada posisi pemerintahan tanpa memenuhi persyaratan untuk itu), yang tentunya hal seperti itu sukar dicari normanya dalam hukum pidana.

Konvensi PBB mengenai pemberantasan Korupsi (United Nations Convention Against Corruption) yang ditandatangani di Merida sesuai dengan resolusi 57/169 yang diajukan ke Majelis Umum sidang ke-59, pada Pasal 2 menghilangkan defenisi korupsi yang semula ada dalam rancangan.

Mubyarto mengutip pendapat Smith27 sebagai berikut :

“ Secara keseluruhan korupsi di Indonesia muncul lebih sering sebagai masalah politik daripada ekonomi. Ia menyentuh keabsahan (legitimasi) pemerintah dimata generasi muda, kaum elite terdidik dan pegawai pada umumnya….korupsi mengurangi dukungan pada pemerintah dari kelompok elite di tingkat provinsi dan kabupaten”.28


Lebih tegas lagi apa yang dikemukakan oleh Gunnar Myrdal29 sebagai berikut:

“Masalah itu (korupsi), merupakan suatu yang penting bagi pemerintah di Asia Selatan karena melakukan penyuapan dan ketidakjujuran membuka jalan membongkar korupsi dan tindakan-tindakan penghukuman terhadap pelanggar. Pemberantasan korupsi biasanya dijadikan pembenar utama terhadap kup militer.


Begitu pula yang dikatakan oleh Huntington berikut ini.

“akan tetapi, tidak berarti bahwa adanya pola korupsi di tingkat atas ini mengganggu stabilitas politik, asal saja jalan-jalan untuk mobilitas ke atas melalui partai politik atau birokrasi tetap terbuka. Namun jika pemain-pemain plitik dari generasi muda melihat bahwa mereka akan dikesampingkan, tidak diberi kesempatan untuk menikmati hasil-hasil yang telah dicapai oleh generasi tua atau jika kolonel-kolonel dalam angkatan dalam angkatan perang melihat tidak ada harapan untuk naik pangkat dan kesempatan yang ada hanya bagi para jenderal, sistem tersebut akan mudah digoncangkan oleh korupsi politik dan stabilitas politik, kedua-keduanya tergantung pada mobilitas ke atas.”30


Tentang titik tolak analisis ekonomi (pasar) mengenai korupsi, Mubyarto,31 mengutip defenisi Clive Gray (“Civil Service Compensation in Indonesia;”BIES, Vol. XV, No.1, March 1979), dan memberi komentar:

“Dengan defenisi demikian, sogokan, uang siluman atau pungli lain merupakan “harga pasar” yang harus dibayar oleh konsumen yang ingin sekali “membeli” barang tertentu. Dan barang tertentu yang akan dibeli itu berupa keputusan, izin, atau secara lebih tegas, tanda tangan. Secara teoritis, harga pasar tanda tangan akan naik turun sesuai dengan naik turunnya permintaan dan penawaran, dan setiap kali akan terjadi “harga keseimbangan.” Karena dalam model ekonomi pasar ada juga pengertian “harga diskriminasi,” dalam pasaran tanda tangan pejabat juga ada kemungkinan perbedaan harga bagi golongan “ekonomi kuat” dan “golongan ekonomi lemah”


Lain halnya kalau kita meninjau masalahnya dari segi norma (pidana) karena bagaimanapun juga, penuapan merupakan suatu delik (pasal 209, 210, 418, 419, dan 420 KUHP yang ditarik menjadi delik korupsi menurut pasal 5, 6, 7, 8, 9, dan 12 dari butir a sampai dengan Undang-Undang No.20 Tahun 2001 yang mengubah Unddang-Undanga Tindak Pidana Korupsi No. 31 Tahun 1999). Disitu diatur bahwa pasal-pasal KUHP tersebut langsung diangkat dengan rumusannya dengan sanksi sendiri.

Korupsi secara yuridis dilukiskan dengan berbagai variasi di berbagai negara, namun masih ada titik persamaannya secara umum. Malaysia misalnya, memandang penyuapan sebagai korupsi yang sebenarnya, ditandai dengan nama komisinya “Badan Pencegah Resuah” (BPR) yang resuah berasal dari bahasa Arab riswah yang artinya suap.

Lukisan Sebab dan Akibat dari Korupsi

Untuk memberantas kejahatan harus dicari sebabnya dan menghapuskannya.32 Dengan demikian kejahatan seperti korupsi tidak akan terberantas atau berkurang kecuali kalau dapat menemukan sebabnya, kemudian sebab itu dihapuskan atau dikurangi.

Jika kita menilik isi undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi tersebut dan kita menyadur defenisis Pompe tentang hukum pidana, maka diperoleh rumusan sebagai berikut.

“Keseluruhan dari peraturan-peraturan hukum yang menentukan untuk kelakuan-kelakuan mana sajakah (sebagai perbuatan korupsi), sepatutnya diterapkan pidana dalam bentuk-bentuk apa sajakah seharusnya pidana itu.”

Dalam Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi itu terdapat peraturan tentang usaha preventif langsung tentang perbuatan korupsi. Peraturan pidana dalam undang-undang tersebut hanya merupakan preventif secara tidak langsung, yaitu agar orang-orang lain tidak atau takut melakukan perbuatan korupsi atau terpidana jera mengulangi perbuatan korupsinya dikemudian hari. Yang jelas, korupsinya sendiri telah berlangsung dan tidak mungkin diperbaiki lagi.

Tentang kausa atau sebab orang melakukan perbuatan korupsi di Indonesia, misalnya sebgai berikut.

        1. Kurangnya gaji atau pendaptan pegawai negeri dibandingkan dengan kebutuhan yang main hari makin meningkat.

Soedarso merumuskan uraiannya sebagai berikut

“banyak faktor yang bekerja dan saling mempengaruhi satu sama lain sampai menghasilkan keadaan yang kita hadapi. Tindakan yang dapat dilakukan hanyalah mengemukakan faktor-faktor yang paling berperan. Causalites redeneringen harus sangat berhati-hati dan menjauhkan dari sifat gegabah. Buruknya ekonomi , belum tentu dengan sendirinya menghasilkan suatu wabah korupsi dikalangan pejabat kalau tidak ada fakto-faktor lain yang bekerja. Kurangnya gaji bukanlah pula faktor yang menentukan. Orang-orang yang berkecukupan banyak yang melakukan korupsi. Prosedur yang berliku-liku bukanlah pula hal yang perlu ditonjolkan karena korupsi juga meluas dibagian-bagian yang sederhana.”33

Patut diingat kurangnya gaji pegawai negeri jika dibandingkan dengan kebutuhannya, semakin gawat manakala diperhatikan kebutuhan yang semakin meningkat sebagai akibat kemajuan teknologi. Semua itu menambah beban kebutuhan pegawai negeri. Beban yang berat itu masih ditambah dengan sistem mencicil, kartu kredit yang yang memdahkan pengambilan barang tersebut, tetapi mengakibatkan pemotongan gaji sampai kadang-kadang pegawai yang bersangkutan hanya menerima amplop kososng setiap bulan.

        1. Latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia

Soedarso merujuk pada



Critical Legal Studies (CLS) dan Hukum Progresif Sebagai Alternatif Dalam Reformasi Hukum Nasional

Kritik-kritik keras terhadap positivisme berlangsung dalam gelombang pasang dan surut. Setelah sekitar 30 tahun terhitung sejak 1920-an kritik-kritik itu mengguncangkan kemapanan postivisme, khususnya Amerika, kemudian mengalami surut, melemah bahkan hampir-hampir tak terdengar lagi. Namun, sikap kritis dan kerinduan pada kebenaran tampaknya tidak akan pernah hanyut dan lenyap oleh gelombang perubahan keadaan. Sekitar tahun 1970-an, pasca perang Vietnam, terlihat sedemikian banyak kebijakan pemerintah Amerika yang ternyata tidak selaras dengan realitas. Bagaikan membangunkan harimau dari tidurnya, hal demikian ternyata membangkitkan kembali sikap kritis para ahli hukum untuk mengkritisi kebijakan yang cenderung menuju kembali ke paradigma positivisme. Gerakan baru ini bergerak lebih keras dan lebih kritis daripada para pendahulunya (the Sociological Jurisprudence maupun the Legal Realism). Gerakan ini dikenal dengan nama The Critical Legal Studies Movement (dikenal dengan sebutan CLS).

Pada awalnya, yaitu sepanjang belahan pertama dasawarsa 1970-an, gerakan CLS barulah merupakan suatu seri serangan awal yang penuh kritik pada praktik dan ajaran klasik kaum positivis yang cenderung mengedepankan formalitas hukum tetapi mengesampingkan arti penting substansi hukum. Pada tahap berikutnya, yaitu sepanjang belahan kedua dasawarsa 1970-an, gerakan CLS sudah mulai beprakarsa mengkritik kasus-kasus lewat berbagai analisis, yang hasilnya pada tahap berikutnya telah di integrasikan untuk menghasilkan konsep, teori dan metode baru dalam studi ilmu hukum.

Bagaimana pandangan dan pemikiran para eksponen CLS terhdap perkembangan ilmu hukum? Dalam garis besarnya dapat dideskripsikan sebagai berikut;

Pertama, mereka tidak percaya terhadap paradigma kaum postivis-formalis yang mengidealkan hukum sebagai suatu otoritas yang mampu bertindak netral. Idealisasi hukum sebagai hasil positivisasi norma-norma yang telah disepakati, tidaklah dapat diterima begitu saja. Perlu dipertanyakan apakah hukum formal (hukum positif) benar-benar bersifat netral dan dapat ditegakkan oleh lembaga yudisial yang diasumsikan sebagai institusi independen?. Dalam pengamatan maupun pengalaman mereka kenetralan hukum positif hanyalah mitos belaka, dan bukan realitas, alias masyarakat dihadapkan pada kebohongan publik.

Kedua, dalam pengalaman dan pengamatan mereka pula bahwa sesungguhnya formalisasi hukum tidak lain merupakan rasionalisasi kepentingan para elit yang berkuasa, dan dengan demikian hukum positif tidak lain pula adalah legitimasi dominasi kaum elite terhadap rakyat. Pelegitimasian itu antara lain dilakukan melalui proses reifikasi dan hegemoni. Dalam proses reifikasi itu rakyat digiring, dibius, dan dijebak untuk percaya, taat dan tunduk pada prinsip yang dikenal dengan doktrin “supremasi hukum”. Keberhasilan meyakinkan kebenaran doktrin supremasi hukum pada tataran konsep, teori dan lebih lanjut diikuti dengan praktik-praktik hukum menghasilkan legitimasi kuat bagi para elite dalam mempertahankan dan memaksakan hukum positif kepada siapapun yang dikehendakinya. Sementara itu melalui proses hegemoni, ajaran-ajaran hukum didayagunakan untuk membentuk dan menguatkan posisi rezim kekuasaan yang sesungguhnya otokratis, namun secara yuridis formal kekuasaan itu sah karena telah mendapatkan persetujuan badan-badan pemerintahan atau negara yang mengatas-namakan dirinya sebagai perwakilan rakyat.

Ketiga, dalam pengalaman dan pengamatan mereka pula bahwa batas-batas pemisah antara hukum dan politik sebenarnya sudah tidak pernah ada. Hukum adalah produk politik. Dalam setiap pembuatan, penyelenggaran dan penegakan hukum, bukan murni untuk mengejar dan menegakan keadilan melainkan tersembunyi agenda-agenda politik dari para aktor atau partai politik yang dominan berkuasa. Para yuris, lawyers dan mereka yang dipandang ahli hukum, telah dibayar mahal dengan uang ataupun diberi kontribusi jabatan politis oleh para politisi asalkan mereka mau bekerja keras dan berhasil mengakomodasi kepentingan-kepentingan politisnya sehingga resmi masuk sebagai bagian dari hukum positif. Kerja para “tukang-tukang hukum” tersebut tidak berbeda dengan robot-robot yang mau bergerak kemana saja sesuai dengan perintah para aktor politik yang berada dibelakangnya. Moralitas tukang-tukang hukum tersebut teramat rendah yaitu sebatas moralitas finansial. Mereka bekerja, menjalankan hukum melalui lembaga-lembaga hukum, bukan untuk menegakan keadilan melainkan hanya mengejar kebutuhan materiil-duniawi serta-merta dengan tega mengobjekkan dan mengorbankan rakyat ke dalam skenario hukum positif.

Dengan demikian pemikiran-pemikiran kritis diatas, CLS bertekad terus melakukan perlawanan terhadap para positivis-formalis. Pertanyaan kita adalah apa agenda CLS ke depan dalam membangun ilmu hukum?

Mengutip pernyataan eksponen termuka CLS bernama Roberto Mangaibera Unger (1987) bahwa arah kerja CLS bukanlah untuk memporak-porandakan sistem hukum nasional melainkan melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi terhadap praktik-praktik hukum yang cenderung mementingkan rasionalitas formal, dengan cara memangkasi “cabang-cabang praktik” yang kurang menguntungkan.34 Dekonstruksi itu berlangsung dengan dua metode yaitu: (1)”pembalikan hierarki” norma hukum dan (2) penafsiran ulang maksud yang terkandung dalam norma hukum.

Mengapa harus ada pembalikan hierarki norma hukum? Sebab para eksponen CLS yakin bahwa setiap norma hukum selalu mengoposisikan dua nilai kepentingan yang berbeda atau berlawanan, dimana istilah yang disebut dahulu selalu dipandang lebih utama daripada istilah kedua. Sebagai contoh, ketika dalam hukum perkawinan disebut laki-laki dan perempuan, maka hak-hak suami akan lebih besar daripada hak istri. Norma hukum perkawinan seperti itu harus didekonstruksi melalui pembalikan hierarki dengan mendahulukan perempuan daripada laki-laki. Dalam proses dekonstruksi itu hak dan kepentingan para pihak dikonstruksi ulang sebagai dua entitas lain. Feminisme Jurisprudence kiranya dapat digolongkan sebagai aliran terkemuka dalam penggunaan metode pembalikan hierarki norma hukum itu.

Penafsiran ulang isi kandungan sebuah norma hukum menurut CLS perlu dilakukan mengingat bahwa suatu teks undang-undang atau teks amar putusan hakim begitu selesai dirumuskan sebenarnya terbebas dari maksud perumusannya yang semula. Menurut eksponen CLS, makna setiap teks pada hakikatnya nisbi sebab makna tersebut selalu terkait secara konstektual dengan perubahan zaman dan lingkungannya. Oleh karena itu kita akan dapatkan setiap generasi berusaha mengaktualisasikan makna setiap teks, dan pemaknaan mereka itu tak mungkin terhalangi oleh perumus aslinya. Prinsipnya, penafsiran ulang norma hukum harus didasarkan pada the free play of the text.

Menurut Unger (1987) bahwa tatanan kehidupan kedepan yang ingin diwujudkan dengan dekonstruksi dan rekonstruksi praktik-praktik hukum adalah empowered democracy dan berkembangnya transformative politics. Bertolak dari asumsi bahwa pada dasarnya struktur kekuasaan dalam masyarakat itu merupakan suatu bangunan hierarkis yang amat kaku dan tak mudah responsif pada tuntutan publik, maka struktur demikian perlu didekonstruksi menjadi struktur yang demokratis, responsif dan akuntabel. Untuk mencapai tujuan itu maka gerakan yang dikembangkan lebih lanjut adalah apa yang dinamakan transformatif, yaitu aktifitas terencana yang dilakukan atas dasar “perlindungan hak-hak individu dan kebebasan melakukan destabilisasi terhadap struktur atau sistem hukum yang tidak demokratis”.

Masih terngiang di telinga kita semua ketika Jurgen Habermas merasa gelisah dengan mulai matinya ilmu-ilmu sosial. Mungkin, jika Habermas melihat lagi kenyataan yang terjadi pada teori-teori sosial khususnya teori-teori kritis saat ini, ia akan lebih jauh bersedih. Penderitaan kritisnya ilmu-ilmu kritis diperparah dengan metode pendidikan yang bersifat reproduktif bagi posisi status quo. Artinya, kritisnya teori kritis punya hubungan dengan paradigma yang melatar belakangi metode pendidikan.

Giroux dan Aronowitz (1985), mengkategorisasikan pendekatan pendidikan menjadi tiga aliran dan menganalisa bagaimana paradigma pendidikan tersebut berimplikasi pada sub sistem pendidikan lainnya. Pertama, paradigma konservatif. Bagi kaum konservatif, ketidaksederajatan masyarakat merupakan suatu keharusan alami, tidak dapat dihindarkan bahkan merupakan kepastian sejarah dengan atas nama takdir. Oleh karenanya, sekolah merupakan upaya untuk melanggengkan relasi ketidaksederajatan agar ada harmoni dan menjauhkannya dari konflik dan kontradiksi. Dan akhirnya, pendidikan ini memberikan apa yang dinamakan kesadaran magis.

Kedua, paradigma kaum liberal. Paradigma ini berangkat dari keyakinan bahwa memang ada masalah di masyarakat, tetapi bagi mereka, sama sekali tidak ada kaitan dengan dunia pendidikan. Bagi mereka masalah masyarakat dan pendidikan berjalan pada ranah yang berbeda. Dan menurut mereka, pendidikan adalah media untuk mensosialisasikan dan mereproduksi nilai-nilai tata susila keyakinan. Paradigma ini berasumsi bahwa yang sesungguhnya paling bermasalah adalah manusia. Manusia menjadi bermasalah karena tidak mempunyai keinginan untuk berprestasi yang tinggi. Makanya, dalam naungan paradigma ini berkembanglah apa yang dinamakan Achievment Motivation Training yang digagas oleh David McClelland. Sehingga, sekolah pada hakikatnya adalah untuk memperbaiki manusia menjadi obyek bagi pendidikan, sehingga yang tersaji adalah kesadaran naïf.

Ketiga, paradigma kritis. Paradigma kritis ini menghendaki perubahan struktur secara fundamental dalam politik ekonomi masyarakat dimana pendidikan itu ada. Bagi mereka, kelas dan diskrimansi gender dalam masyarakat tercermin pula dalam pendidikan. Maka dalam perspektif kritis, urusan pendidikan adalah melakukas refleksi kritis terhadap “the dominant ideology” kearah transformasi sosial. Tugas utama pendidikan adalah menciptakan ruang agar sikap kritis terhadap sistem dan struktur ketidakadilan, serta melakukan dekonstruksi dan advokasi menuju sistem sosial yang lebih adil. Oleh karenanya, sekolah adalah tempat untuk memanusiakan kembali manusia yang mengalami dehumanisasi karena sistem dan struktur yang tidak adil dengan harapan menciptakan kesadaran kritis.

Nah, pendidikan yang saat ini ada selalu menginjeksikan kesadaran yang beroperasi pada dua hal, yakni kesadaran magis dan naïf. Karenanya, tugas pertama dari upaya penyelamatan teori-teori kritis adalah menyusun pola pendidikan kritis.


Mengenang Kembali Teori-Teori Kritis

Didalam dunia hukum, Critical Legal Studies (CLS) adalah penyejuk bagi dahaga para ilmuwan hukum yang gerah dengan merajalelanya positivisme hukum. Positivisme hukum berangkat dari penggunaan paradigma hukum liberal yang secara ideologis meyakini bahwa hukum itu dapat dikelola dan dikonstruksi dalam suatu institusi yang normal dan terlepas sama sekali dari ilmu politik. Pandangan ini berasal dari kaum positivistik yang normologis. CLS berangkat dari pemikiran sederhana yang kemudian kritis terhadap realitas supremasi hukum yang mandeg hanya pada prinsip legalitas.

Teori kritis yang melatarinya CLS adalah tersebar pada beberapa analisis. Yakni tradisi pemikiran Marxis, Strukturalisme dan Mazhab Frankfurt. Namun jika dikerucutkan maka ketiga tradisi ini lahir dari logika Immanuel Kant dan Hegel yang kemudian dikritisi secara baik oleh Jurgen Habermas. Tiga tokoh inilah yang menjadi ‘dewa-dewa’ utama dalam pemikiran Mazhab Frankfurt yang terkenal dengan tradisi kritis terhadap bidang kehidupan masyarakat modern, seperti seni, ilmu pengetahuan, ekonomi, politik, kebudayaan dan juga pemikiran-pemikiran hukum. Selain itu, dalam hubungan tertentu, Mazhab Franfurt juga sesungguhnya merupakan pemikiran kritis terhadap logika dan pemikiran Karl Marx, karenanya sering dikatakan bahwa Mazhab Frankfurt adalah kelanjutan pemikiran Marx di Barat yang kemudian banyak dikenal sebagai Marxisme Kritis atau Neo Marxisme.

Secara sederhana, sejarah menuliskan bahwa Immanuel Kant adalah pemicu awal pemikiran kritis ini yang kemudian dikritisi oleh Hegel. Kedua pemikiran ini pun kemudian juga dikritisi oleh Jurgen Habermas. Sesungguhnya, kata kritis sudah mulai dipakai pada masa Renaissance (1350-1600) yang bertradisi intuk melawan kungkungan penafsiran Gereja. Pasca Renaissance (masa Aukflarung di Abad ke-17 dan 18) dan satu abad setelahnya, lahirlah beberapa filsuf yang dipandang sebagai filsuf kritis seperti Kant, Hegel dan Marx.

Kekritisan Kant diakui ketika dia tiba-tiba membalikkan kondisi pemikiran yang sedang laku saat itu dengan mempertanyakan the conditions of possibility dari pengetahuan itu sendiri. Ia menyusun logika-logika rasio kritisme yang pada saat itu menjadi lawan terhadap dogmatisme. Hegel kemudian datang dengan kritik yang berbeda dari Kant. Rasio yang diusung oleh Kant, dikritisi oleh Hegel bahwa rasio semacam itu tidak mengenal prinsip-prinsip waktu dan netralitas, sehingga ahistoris. Inilah yang kemudian melatari perkembangan pemikiran Hegel yang dialektis secara historis. Walau menganalisis Kant, namun Hegel-lah yang pertama kali sampai pada artian kritis yang sesungguhnya yakni kritis adalah refleksi atau refleksi diri atas rintangan-rintangan, tekanan-tekanan, kontradiksi- kontradiksi yang menghambat proses pembentukan diri rasio dalam sejarah. Simplifikasinya, kritis adalah negasi atau dialektis.

Tidak hanya sampai disini, Marx kemudian datang dengan mengkritisi lagi konsep Hegel yang menempatkan konsep kritis dalam artian idealisme. Bagi Marx, hal itu seharusnya bersifat materialisme. Artinya konsep ‘melangit’ gaya Hegel kemudian di-‘bumi’-kan oleh Marx dengan menempatkannya dalan konteks sejarah yang kongkret dari masyarakat yang nyata. Kritik dalam konteks materialisme sejarah ini berarti praxis revolusioner yang dilakukan oleh kaum proletariat atau perjuangan kelas. Karenanya, kritis berarti usaha-usaha mengemansipasi diri dari penindasan dan alienisasi yang dihasilkan oleh hubungan kekuasaan didalam masyarakat.

Pengkajian Marx yang dilakukan oleh Mazhab Frankfurt menjadi neo-Marx. Walau sebagai neo-Marx, tetapi aliran Mazhab Frankfurt tetap tergolek tak berdaya dihadapan logika-logika Kant, Hegel dan Marz. Dalam istilah Habermas, Mazhab Frankfurt telah terjebak dalam logika buntu terhadap upaya melakukan perubahan struktur secara radikal, sehingga pilihan yang terjadi hanyalah bergelayut antara ‘jalan kekerasan’ atau menunggu ‘gerhana matahari’. Menurut Habermas, perubahan harus dimulai dengan dialog-dialog emansipatoris yang melalui jalan komunikasi dan bukan dominasi.

Sedikit banyak, ide-ide kritis inilah yang masuk ke Amerika dan mempengaruhi pola pemikiran CLS. Ditambah dengan pemikiran strukturalisme yang memiliki ciri khusus totalitas (totality), transformative (transformative) dan mengatur diri sendiri (self regulating), maka setidaknya ada 3 aliran kuat dalam CLS di Amerika, yakni pertama adalah arus pemikiran yang diwakili Roberto M. Unger yang mencoba terus mengintegrasikan dua paradigma yang bersaing antara paradigma konflik dan konsensus. Kedua, adalah David Kaiyrs yang sangat Marxian dalam artian mengkritisi tradisi hukum liberal yang hanya dianggap sebagai pelayan kaum kapitalis. Ketiga adalah Eklektis yang membaurkan prinsip-prinsip strukturalisme dan neo-Marxis.35

Variasi mazhab CLS di Amerika itu sendiri telah menjadi contoh betapa sulitnya menemukan metodologi yang pas untuk satu tujuan utama yakni proyek perubahan. Sehingga tawaran untuk kohesi ketiga kemungkinan itu masihlah pada tataran kombinasi dari metode-metode tersebut.

Pendidikan Hukum Kritis dan Penalaran Teori Kritis di Indonesia

Pertanyaannya adalah bagaimana di Indonesia? Sesungguhnya paradigma hukum kritis bisa ditinjau pada sisi bagaimana kritis pada hukum yang ada sekaligus bagaimana memperbaiki hukum yang sedang kritis.

Seharusnya Indonesia bisa memulai dengan hal-hal yang paling sederhana yakni memulainya dari perbaikan mutu pendidikan. Pendidikan masih merupakan masalah yang krusial bagi bangsa ini. Tidak tanggung-tanggung, mulai dari distingsi antara antara peraturan yang mengharuskan alokasi anggaran 20% terhadap sektor pendidikan dengan pelaksanaan yang hanya berkisar 3%-8%, hingga mutu keluaran sekolah yang terus makin dianggap buruk. Tawuran, kekurangan guru, plagiat dan berbagai masalah lain yang menghantui dunia pendidikan masih menjadi momok besar yang hingga saat ini belum diselesaikan. Memang menjadi pertanyaan adalah bentukan paradigma pendidikan yang dibangun oleh negara terhadap sektor ini seperti apa.

Memang harus diakui bahwa sangat sulit untuk tidak mengatakan bahwa pendidikan tidak lepas dari fantasi panjang kaum berkuasa dengan segala pola dan budaya politik. Mereka adalah kaum yang menentukan mau dibawa kemana negeri ini, termasuk mau dibawa kemana sumber daya manusia dengan sistem pendidikannya. Tapi malangnya, pendidikan bagi kaum ini adalah sejalan dengan teori reproduksi yang digunakan untuk mempertahankan, melanggengkan dan melegitimasi pola lama hingga status quo terus terjaga. Berpikir kritis akhirnya disamakan dengan dosa besar dan akhirnya diancam dengan berbagai hukuman.

Pendidikan, harus mampu membawa orang untuk berfikir kritis. Meminjam cara Thomas Kuhn yang juga diteorikan oleh Derrida yakni mulai dari dekonstruksi. Beberapa istilah dalam teori sosial yang sudah terkena imbas hegemonis, harus dikeluarkan lagi lalu diganti dengan penjelasan yang baru.

Berbagai stereotip pada Marxisme, Anarkisme, dan berbagai isme-isme lainnya harus dipurifikasi.

Ketika mekanisme pendidikan telah mampu mengadopsi sistem kritis ini, barulah kita beranjak pada pendidikan hukum kritis. Hukum kritis yang bisa menganalisis ranah kenyataan –mengutip Max Weber- banwa produk-produk hukum yang dikeluarkan oleh rejim pada akhirnya merupakan tarik ulur antar kepentingan politik yang bermain di lapangan kekuasaan, sehingga tidak heran jika peraturan-peraturan pendidikan kita memenuhi dua kemungkinan yang juga kelihatan sama buruknya. Pertama, bersifat elitis sehingga jauh dari kepentingan rakyat atau; yang kedua, bersifat agak populis tetapi dengan pelaksanaan setengah hati.

Hukum kritis atau apapun namanya kelak, harus bisa melihat kenyataan ini, baru kemudian bertindak untuk perubahannya.




1 Howlett dan Rames 1995, halaman 1-12

2 Lihat Charles O. Jones (1984). An Introducion to the Study of Public Policy. Third Edition. Monterey Books/Cole Publishing Company, hlm.25.

3 Anderson, op.cit, hlm.4.

4 Robert Eyestone (1971). The Threads of Policy: A Study in Policy Leadership. Indianapolis: Bobbs-Merril, hlm. 18.

5 Thomas R. Dye (1975). Understanding Public Policy. Second Edition.Englewood Cliff, N. J: Prentice-Hall, hlm. 1.

6 Richard Rose (ed.) (1969). Policy Making in Great Britain. London: MacMillan, hlm. 79.

7 Anderson, op. cit., hlm. 4.

8 Amir Santoso, op. cit., hlm 4-5.

9 Ibid

10 Jeffrey L. Presman dan Aaron Wildavsky, dalam Amir Santoso

11 Davis Easton, A Systems Analysis of Political Life, dalam Anderson, op. cit., hlm. 3.

12 Anderson, op. cit., hlm. 3-4

13 Ibid., hal. 4-5.

14 Fenna 1998, halaman 62; Corbett, halaman 59-60; Yuwono 2001, halaman 17-22

15 Miliband dalam Fenna 1998, halaman 68

16 Fenna 1998, halaman 75-77

17 David Truman (1951). The Government Process. New York: Konpf.

18 Anderson, op. cit.,hlm. 18.

19 Harold Laswell (1956). The Decision Process. Colledge Park, Md: Bureau of Governmental Research, University of Maryland.

20 Deborah A. Stone (1988). Policy Paradox and Political Reason. New York: Harper Collins.

21 Trudi C. Miller (1990). “Normative Political Science”. Policy Studies Review 9 (Winter), hlm. 232-246

22 Ibid.

23 Thomas Sowell (1987). A Conflict of Visions. New York: William Morrow

24 Kamus Hukum, Fockema Andreae. (Bandung: Bina Cipta, 1983)

25 Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, 1976.

26 Abd. Bin Nuh et. al: tanpa tahun. Jakarta.

27 Theodore M. Smith, “Corruption Tradition and Charge.” Indonesia (cornell University, No. 11 April 1971).

28 Mubyarto, Ilmu Ekonomi, Ilmu Sosial dan Keadilan (Jakarta: Yayasan Agro Ekonomika, 1980),hlm. 60.

29 Gunnar Myrdal, Asian Drama, an Inquiry into the Property of nations (Penguin Books Austrlia Ltd., 1977),hlm. 166.

30 Samuel P. Huntington.”Modernisasi dan Korupsi,” karangan dalam buku Mochtar Lubis dan James . Scott, Bunga Rampai Karangan-karangan Mengenai Etika Pegawai Negeri (Jakarta: Bhatara Karya Aksara, 1977),hlm. 133.

31 Ubyarto, op. cit.,hlm. 65.

32 W. A. Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi, Terjemahan R. A. Koesnoen (Jakarta: PT. Pembangunan, 1955), hlm. 46.

33 B. Soedarso, Korupsi di Indonesia (Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1969), hlm. 10-11.

34 Prof. Soetandyo Wignjosoebroto, MPA. 2002

35 Lihat: Ifdhal Kasim, Mempertimbangkan CLS, Jurnal Wacana VI/2000, Insist Press, Yogyakarta